Overview Desain Pembelajaran E-Learning


Desain pembelajaran , baik itu program pembelajaran kelas klasikal maupun kelas noklasikal (e-learning) merupakan bagian dari proses instructional system design (ISD) yang terdiri atas kegiatan Analyze, Design, Develop, Implement, dan Evaluate (ADDIE). Analyze atau analisis, berupa kegiatan analisis peserta pembelajaran, tujuan pembelajaran pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, dan seterusnya, yang bertujuan agar cakupan Desain belajar menjadi sistematis dan sistemik. Design atau desain, berupa kegiatan pengkajian hasil analisis AKP, dan pengambilan keputusan tentang materi, metode, media, alur kegiatan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan alokasi waktu tiap segmen pembelajaran. Develop atau pengembangan, adalah kegiatan menyusun dan mengujicoba bahan yang dihasilkan dari langkah desain sebelumnya (materi belajar, skenario pembelajaran, soal evaluasi hasil belajar, dll). Dalam develop juga dilakukan telaah atas hasil ujicoba pengembangan. Implement atau impelementasi, adalah tahap pelaksanaan pembelajaran pada situasi yang rill, baik dalam kelas klasikal maupun e-learning. Evaluate atau evaluasi merupakan kegiatan penentuan mutu belajar atau pembelajaran yang sedang atau telah dijalani.
Pelaksanaan Desain pembelajaran untuk program e-learning sama halnya dengan untuk program klasikal, dimana Desain dilakukan setelah dilakukan analisis kebutuhan organisasi maupun uraian jabatan dari unit pengguna. Desain memperhitungkan kesenjangan pengetahuan/keterampilan/kompetensi, kondisi calon peserta, sasaran atau tujuan umum pembelajaran, sifat materi, serta uraian pekerjaan dan keterampilan dalam e-learning. Dengan mempertimbangkan prinsip interaktif, sederhana, terorganisasi/teratur dan kemudahan akses, diharapkan Desain pembelajaran program e-learning di BPPK akan dapat berkontribusi dalam peningkatan kinerja organisasi unit pengguna. Di bawah ini adalah contoh praktik penerapan Desain pembelajaran e-learning di Pusdiklat Keuangan Umum:

Alur Desain pembelajaran e-learning di Pusdiklat Keuangan Umum

Pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang teori pendidikan dan pembelajaran, latar belakang peserta pembelajaran, tujuan pembelajaran pembelajaran, karakteristik materi pembelajaran, serta keunggulan dan kelemahan suatu metode pembelajaran, sangat diperlukan bagi seorang Desainer pembelajaran e-learning dalam menghasilkan suatu Desain program yang tepat. Karena itu beberapa konsep perlu ditelusuri ulang sebagai dasar pijakan pembahasan tentang Desain pembelajaran e-learning yaitu:
1. analisis tujuan (goal analysis)
2. penentuan seting belajar pembelajaran e-learning
3. perencanaan materi pembelajaran e-learning
4. penentuan strategi pembelajaran e-learning (termasuk gamification di dalamnya)
5. Penyusunan garis besar pembelajaran pembelajaran e-learning
6. Penyusunan skenario alur belajar

7. Pengembangan pembelajaran (materi dan evaluasi

ANALISIS TUJUAN

Tujuan pembelajaran dianalisis dalam kegiatan yang disebut analisis instruksional. Analisis instruksional adalah suatu prosedur yang diterapkan pada suatu tujuan instruksional, untuk menghasilkan identifikasi kemampuan-kemampuan turunan (subordinate skills) yang diperlukan bagi peserta belajar untuk mencapai tujuan instruksional (Dick & Carey, 2005). Dengan kata lain analisis instruksional adalah teknik penjabaran perilaku umum atau kompetensi umum yang di BPPK disebut dengan Standar Kompetensi menjadi perilaku atau kompetensi khusus (Kompetensi Dasar), di mana kompetensi berarti perubahan perilaku sebagai hasil dari belajar. Jadi, analisis intruksional merupakan tahapan proses keseluruhan seorang penyusun kurikulum dalam menentukan komponen dari tujuan instruksional melalui analisis tujuan (goal analysis) untuk mengidentifikasi keterampilan subordinate atau keterampilan turunannya (Dick and Carey 2005).
Analisis instruksional menurut Dick and Carey dipakai oleh para penyusun desain kurikulum atau pengajar untuk membantu mereka di dalam mengidentifikasi setiap tugas pokok yang harus dikuasai/dilaksanakan oleh peserta belajar dan sub tugas atau tugas dasar yang membantu peserta dalam menyelesaikan tugas pokok.
Langkah di BPPK yaitu kita melihat KAP yang ada (program pembaruan) atau hasil AKP untuk mengetahui tujuan kurikuler atau sasaran program pembelajaran (Broad Instructional Goal Statement), yaitu tujuan dari seluruh program pelatihan atau program pembelajaran.

Langkah-langkah AI menurut Dick and Carey yaitu

sulit diukur dalam waktu singkat. Tujuan pembelajaran yang berfokus pada afektif atau sikap mengajarkan seorang peserta memilih sikap tertentu dengan menunjukkan kecenderungan positif atau negatif terhadap objek, kejadian atau orang tertentu. Tujuan sikap barangkali tidak akan tercapai pada akhir program pelatihan sehingga sering menjadi sasaran tujuan jangka panjang dan sangat sulit menilainya dalam jangka pendek. Tujuan sikap terkadang menyertai tujuan kemampuan intelektual atau keterampilan psikomotorik, atau informasi verbal. Karena itu kesepakatan di BPPK untuk tujuan sikap afektif tetap menggunakan kata kerja operasional dari Taksonomi Bloom ranah kognitif, dengan pendekatan kombinasi cluster, hierarki, dan prosedural.
4) Keterampilan psikomotor
Karakteristik dari keterampilan psikomotor adalah peserta belajar harus melaksanakan gerakan otot dengan atau tanpa peralatan untuk mencapai hasil yang spesifik. Ketrampilan ini melibatkan mental dan fisik. Analisis hirarkis maupun analisis prosedural dapat dilakukan pada keterampilan intelektual dan psikomotorik.
Setelah didapatkan hasil analisis instruksional, maka bisa ditentukan pemilihan model pembelajaran e-learning. Variasi model pembelajaran e-learning ada 3 macam menurut Chaeruman (2013) yaitu:
1. Adjunct Model
Adalah proses pembelajaran tradisional plus. Artinya pembelajaran tradisional yang ditunjang dengan sistem penyampaian secara online sebagai pengayaan. Keberadaan sistem penyampaian secara online merupakan suatu tambahan. Contoh untuk menunjang pembelajaran di kelas, seorang pengajar menugaskan pesertanya untuk mencari informasi dari internet.
Menurut PER-2/PP/2018, dalam adjunt model E-learning merupakan pelengkap kegiatan pembelajaran. Peserta diberikan kebebasan untuk mempelajari E-leaming.

2. Mixed/Blended

yaitu sistem penyampaian secara online sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembelajaran secara keseluruhan. Artinya baik proses tatap muka maupun pembelajaran secara online merupakan satu kesatuan utuh. Berbeda dengan model adjunct yang hanya menempatkan sistem penyampaian online sebagai tambahan. Dalam model blended, tentu saja masalah relevansi topik pelajaran mana yang dapat dilakukan secara online dan mana yang dilakukan secara tatap muka (tradisional) menjadi faktor pertimbangan penting dalam penyesuaian dengan tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, karakteristik peserta belajar maupun kondisi yang ada.
Menurut PER-2/PP/2018, dalam mixed model E-learning merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan bersifat wajib untuk diikuti peserta dalam suatu kegiatan pembelajaran.

3. Fully Online
semua interaksi pembelajaran dan penyampaian bahan belajar terjadi secara online. Contoh, bahan belajar berupa video diunggah dan diterima via internet, atau pembelajaran ditautkan (linked) melalui hyperlink ke sumber lain yang berupa teks atau gambar. Ciri utama model ini adalah terjadinya pembelajaran kolaboratif secara online. Tidak ada tatap muka sama sekali.

Pemilihan model harus melihat kesesuaiannya dengan tujuan pembelajaran serta memperhitungkan resources yang dimiliki serta kelebihan dan kekurangan dari model-model e learning yang ada. Kelemahan pada online learning bisa diatasi oleh kelebihan pada pembelajaran tatap muka. Begitu pula sebaliknya, kelemahan pada tatap muka dapat diatasi oleh kelebihan online learning.
Menurut PER-2/PP/2018, dalam model online E-leaming merupakan pembelajaran mandiri yang keseluruhan kegiatan dan aktifitasnya dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi.

SETING BELAJAR

Setelah menetapkan model pembelajaran, maka selanjutnya kita melihat seting belajar untuk mendapatkan metode dan media yang tepat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Berikut ini adalah pembagian seting belajar menurut Uwes Chaeruman yang diadaptasi dari Staley (2007).

Empat kuadran seting belajar tersebut diadaptasi Uwes C. dari Noord dalam Staley 2007) seperti digambarkan dalam diagram di atas, dijelaskan sebagai berikut:
A. Sinkronous langsung (live synchronous); suatu kondisi di mana belajar terjadi pada waktu dan tempat bersamaan. Dimensi tempat dan waktu terjadi pada saat bersamaan. Seting belajar seperti ini terjadi dalam pembelajaran konvensional, dimana antara peserta belajar dengan guru/dosen/tutor berada pada tempat yang sama dan waktu yang sama, belajar didalam kelas. Contoh metode pembelajaran yang terjadi dalam konteks ini adalah ceramah, diskusi kelompok, praktek laboratorium, karyawisata, dan lainlain. Pada pembelajaran e-learning tentu tidak memakai seting ini (kecuali untuk program blended learning), melainkan seting di kuadran berikutnya yaitu sinkronous maya.
B. Sinkronous Maya (virtual synchronous); suatu kondisi dimana belajar terjadi pada waktu bersamaan (real time) di tempat yang berbeda-beda satu sama lain. Dalam konteks ini, belajar terjadi dalam dimensi waktu yang sama, tapi dimensi ruang/ tempat yang berbeda-beda satu sama lain. Contoh metode pembelajaran yang terjadi dalam konteks ini adalah presentasi, diskusi, demonstrasi, tutorial dan lain-lain menggunakan teknologi dan tool komunikasi seperti telewicara: video-conference, audio-conference, atau mungkin chatting (text-based conference).
C. Asinkronous Mandiri (Self-paced Asynchronous); suatu kondisi dimana belajar terjadi secara mandiri, kapan saja di mana saja sesuai dengan kondisi dan kecepatan belajarnya masing-masing. Dalam konteks ini, belajar terjadi tanpa terikat dengan waktu dan tempat. Sifatnya lebih terbuka dan luwes melalui metode belajar mandiri. Agar terjadi belajar mandiri, peserta belajar difasilitasi dengan bahan ajar digital yang dikenal dengan istilah learning object dalam beragam format media baik yang berbasis teks, audio, video, animasi, simulasi, permainan ataupun kombinasi dari semua itu (hypermedia).
D. Asinkronous Kolaboratif (Colaborative Asynchronous); suatu kondisi dimana belajar terjadi kapan saja dan di mana saja melalui kolaborasi antara dua orang atau lebih. Contoh metode pembelajaran yang terjadi dalam konteks ini adalah metode diskusi, tutorial dan tanya jawab melalui forum diskusi online, metode pemecahan masalah dan pembelajaran kolaboratif melalui penugasan online (online assignment).
Strategi Pembelajaran dalam Kuadran Seting Belajar
Jika kita kombinasikan antara klasifikasi strategi pembelajaran menurut Smaldino dkk. dan seting belajar menurut Noord, maka dapat dicontohkan seperti dalam tabel di bawah ini (Chaeruman 2013):

StrategiSeting Belajar
PembelajaranSinkronousSinkronousAsinkronousAsinkronous
langsung (liveMaya (virtualMandiriKolaboratif
Drill & PraktikDrill & Praktik di kelas, lapangan, atau real worldDrill & Praktik melalui game virtual onlineDrill & Praktik melalui game simulatorPenugasanuntukmempraktikkansesuatu
TutorialTutoriallangsungindividualmaupunkelompokTutorial via videoconference atau audio conferenceTutorial melalui forum diskusi, e-mail, mailist
DiskusiDiskusi dalam kelasTutorial conference , audioconference, atau chatting
Permainan & SimulasiPermainan & Simulasi di real worldPermainan & Simulasi secara virtual dan onlineGame dan simulator online dan offline (CD multimedia)
PemecahanMasalahDiskusi studi kasus dalam kelasDiskusi dan tanya jawab melalui video conferencePenugasanuntukmemecahkan suatu kasus,
masalah baik individu atau kelompok
PembelajaranKooperatifPenugasanuntukmengerjakan suatu project tertentu

MATERI / KONTEN PEMBELAJARAN
Namun sebelum dilakukan pengembangan materi, perlu diingat dalam desain materi e-learning harus memegang prinsip-prinsip kesiapan dan motivasi, penggunaan alat pemusat perhatian, partisipasi aktif peserta, perulangan, dan umpan balik sperti dijelaskan di bawah ini.

Prinsip penyiapan bahan pembelajaran menurut Richard E. Mayer.
1. Kesiapan dan motivasi (Readiness and motivation)
Kita perlu tahu kesiapan peserta pembelajaran e-learning sesuai dengan tujuan pembelajaran yang kita tetapkan. Karena itu perlu disiapkan tes prasyarat, tes diagnostik, dan tes awal. Jadi pegawai bisa saja ditugaskan unit untuk mengikuti pembelajaran e-learning, tetapi puspembelajaran perlu lagi memastikan jika pengetahuan, keterampilan dan sikap prasyarat sudah dimiliki calon peserta. Jika suatu kompetensi belum terpenuhi, perlu disiapkan juga materi pembekalan atau matrikulasi. Terkait motivasi pendorong untuk melakukan melakukan kegiatan belajar e-learning, teknik motivasi antara lain dengan menunjukkan kegunaan dan pentingnya materi yang akan dipelajari, kerugiannya jika tidak mempelajari, manfaat atau relevansinya untuk kegiatan belajar di waktu sekarang, yang akan datang dan untuk pelaksanaan tugas di unit masing-masing. Motivasi juga dapat ditingkatkan dengan pemberian hadiah dan hukuman (reward and punishment) yang dilakukan dengan gamification.

2. Penggunaan alat pemusat perhatian (Attention directing devices)
Prinsip kedua penggunaan alat pemusat perhatian agar hasil belajar akan meningkat. Mengingat ini bentuk pembelajaran e-learning, di mana perhatian peserta sifatnya sukar dikendalikan dalam waktu lama. Dengan prinsip ini maka desainer pembelajaran e-learning akan semakin teliti dalam menentukan strategi pembelajaran. Misalnya pilihan media seperti gambar, ilustrasi, bagan warna warni, audio, video, alat peraga, penegas visual, penegas verbal, kecerahan, dsb. Teknik yang dapat digunakan untuk mengendalikan perhatian misalnya games, humor, kejutan selama pembelajaran dll.

3. Partisipasi aktif Peserta (Learner’s active participation)
Prinsip ketiga adalah partisipasi aktif Peserta. Jika peserta aktif berpartisipasi dan interaktif, hasil belajar akan meningkat. Aktifitas peserta meliputi aktifitas mental (memikirkan jawaban, merenungkan, membayangkan, merasakan) dan aktifitas fisik (melakukan latihan, menjawab pertanyaan, mengarang, menulis, mengerjakan tugas, dsb.

4. Perulangan (Repetion)
Prinsip keempat adalah perulangan. Jika penyampaian pesan pembelajaran diulang-ulang, maka hasil belajar akan lebih baik karena retensi pengetahuan semakin tinggi. Perulangan dapat pula dilakukan dengan memberikan tinjauan selintas pada saat memulai materi dan ringkasan atau kesimpulan pada akhir materi. Perlu juga disiapkan narasi berisi perulangan misalnya menggunakan kata-kata isyarat tertentu seperti “Sekali lagi saya ulangi”, “dengan kata lain”, “singkat kata”, atau “singkatnya”, dsb.Umpan balik

5. (Feedback)
Prinsip kelima adalah umpan balik agar peserta tahu kemajuan belajarnya. Jika salah diberikan pembetulan (corrective feedback) dan jika betul diberi konfirmasi atau penguatan (confirmative feedback). Secara teknis, umpan balik diberikan dalam bentuk kunci jawaban yang benar.

Prinsip bahan pembelajaran juga sudah diatur dalam ketentuan internal yang berlaku di Kemenkeu. Menurut PER-2/PP/2019, dalam penyiapan dan pcngembangan materi E-leaming kita harus memperhatikan faktor-faktor berikut ini:
a. Materi fokus pada peserta, relevan dengan kebutuhan, peran dan tanggung jawab peserla pada tugas dan fungsinya dalam organisasi.
b. Pembagian materi, sebaiknya dibagi menjadi beberapa bagian untuk memfasilitasi asimilasi dari pengetahuan baru dan memungkinkan fleksibilitas dalam waktu belajar.
c. Materi mendorong kelerlibatan peserta, perlu didesain secara kreatif agar dapat mendorong keterlibatan dan motivasi peserta clalam proses pembelajaran.
d. Personalisasi, sesuai dengan minal dan kebutuhan peserta (untuk self-paced E-learning (Mandiri)) atau pengajar dan fasililator mampu mengikuti perkembangan pembelajaran peserta (untuk instructor-led atau E-learning Fasilitasi).

Adapun materi atau konten e-learning yang diperlukan dalam program pembelajaran e-learning setidaknya terdiri dari:
• bahan ajar dan PPT pengajar
• gambar dan grafis
• multimedia
• lesson plans
• learning guide
• evaluation

Penyusunan materi multimedia sebaiknya mempertimbangkan standar proses pembelajaran e-learning menurut Chaeruman (2013) diadaptasi dari Horton yaitu tahapan mempelajari (learning); tahapan mendalami (deepening); tahapan menerapkan (applying); dan menjajaki penguasaan (measuring).
Hubungan tahapan belajar, strategi dan setting belajar dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tahapan BelajarStrategi dan Seting Belajar
1. Mempelajari (learning);Dapat dicapai melalui strategi presentasi dan demonstrasi yang dapat dipelajari secara mandiri dalam seting asinkronous mandiri dengan cara mempelajari bahan ajar yang dikemas secara digital dalam berbagai jenis dan format media sehingga dapat dipelajari kapan saja dan di mana saja
2. Mendalami (deepening);Dapat dicapai melalui strategi demonstrasi, drill & practice dan tutorial baik dalam seting belajar sinkronous langsung (demonstrasi dan praktek langsung), asinkronous mandiri (mempelajari video tutorial atau drill & prcatice online).
3. Menerapkan (applying);Dapat dicapai melalui strategi pemecahan masalah dan pembelajaran kolaboratif yang terjadi dalam seting
belajar sinkronous langsung maupun sinkronous kolaboratif (melalui penugasan).
4. Mengukur penguasaan (measuring)Dapat dicapai melalui strategi evaluasi hasil belajar yang dapat terjadi dalam seting belajar sinkronous langsung (seperti performance assessment maupun pencl on paper test didalam kelas) dan terjadi dalam seting belajar asinkronous mandiri (seperti mengerjakan test secara online).

STRATEGI PEMBELAJARAN
Strategi pembelajaran menurut Smaldino dkk. ada dua kategori, yaitu strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa (learner centered) dan strategi pembelajaran yang berpusat pada guru atau teacher-centered (Smaldino, et al., 2008). Menurut Uwes Chaeruman (2013) diadaptasi dari Khan (2005) dan Staley (2007), strategi teacher-centered untuk program e-learning meliputi presentasi, demonstrasi, tutorial, serta drill dan praktik, sedangkan strategi learner-centered meliputi diskusi, permainan dan simulasi, pemecahan masalah dan pembelajaran kolaboratif.

Berikut adalah sekumpulan metode maupun teknik yang digunakan pada proses pembelajaran baik klasikal maupun dengan online learning.

  1. Ceramah: Fasilitator mengalihkan informasi kepada peserta pembelajaran dengan cara lisan/verbal. Informasi yang dialihkan dapat berupa fakta-fakta, atau prinsip-prinsip.
  2. Debat: Metode penyampaian pandangan atau pendapat yang mengenai suatu topik yang bersifat konvensional. Metode ini dimaksudkan untuk melatih peserta pembelajaran berargumentasi dan mempertahankan argumentasinya.
  3. Demonstrasi: Suatu penyajian yang dipersiapkan secara teliti untuk mempertontonkan suatu tindakan atau prosedur yang digunakan. Metode ini disertai penjelasan, ilustrasi, pernyataan lisan, atau peragaan secara visual yang tepat.
  4. Discovery Learning: Metode pembelajaran dimana peserta pembelajaran tidak diberikan materi pembelajaran dalam bentuk final tetapi materi diberikan dalam bentuk sedemikian rupa sehingga peserta diharapkan mengorganisasikannya sendiri dalam pikirannya menjadi suatu bentuk akhir. Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving, tetapi lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Masalah yang diperhadapkan kepada peserta pembelajaran semacam masalah yang direkayasa oleh fasilitator, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa.
  5. Diskusi: Metode pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta pembelajaran untuk berinteraksi antar sesama peserta atau antara peserta pembelajaran dengan fasilitator untuk menganalisa, menggali, atau membahas suatu topik tertentu.
  6. Eksperimen: Cara penyajian materi pembelajaran dimana peserta pembelajaran secara aktif mengalami dan membuktikan sendiri tentang apa yang sedang dipelajarinya, kemudian menarik kesimpulan tentang suatu objek atau proses.
  7. Forum: Metode dengan bentuk sidang umum dimana setiap orang memiliki kesempatan berbicara untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing mengenai suatu topik yang telah ditentukan pembahasannya.
  8. Inquiry: Merupakan suatu strategi pembelajaranyang menyiasati agar peserta pembelajaran aktif mencari dan menemukan fakta, prinsip, dan konsep yang mereka butuhkan.Ada 3 jenis metode inquiry: o> Guided inquiry = Fasilitator membuat rumusan permasalahan dan pedoman (berupa pertanyaan-pertanyaan yang membimbing), serta memberikan bimbingan atau petunjuk yang cukup luas kepada peserta pembelajaran. o> Modified free inquiry = Fasilitator memberikan masalah saja, kemudian peserta pembelajaran memecahkan masalah melalui pengamatan dan eksplorasi sesuai prosedur penelitian untuk memperoleh jawaban. o> Free inquiry = Dilakukan setelah peserta pembelajaran mempelajari dan mengerti bagaimana memecahkan suatu masalah, serta telah memperoleh pengetahuan yang cukup mengenai bidang studi tertentu. Peserta pembelajaran menemukan dan merumuskan masalah yang harus dipecahkan kemudian melakukan penelitian untuk memperolah jawaban.
  9. Kerja Kelompok: Format belajar mengajar yang menitikberatkan kepada interaksi antar anggota dalam kelompok dalam menyelesaikan tugas secara bersama-sama.
  10. Peer Teaching: adalah teknik pembelajaran dimana peserta pembelajaran saling menyampaikan materi kepada rekan pembelajaran lainnya.• Peserta dibagi dalam kelompok, kemudian masing-masing peserta diberi topik untuk diajarkan kepada peserta lain. Selanjutnya tiap peserta tampil dalam kelompok mengimplementasikan hasil rancangan pembelajarannya. Fasilitator bertugas mengamati interaksi dalam tiap kelompok dan memberikan umpan balik.
  11. Tanya Jawab: Suatu teknik untuk memberi motivasi pada peserta pembelajaran agar bangkit pemikirannya sehingga tumbuh pengetahuan baru dalam diri peserta pembelajaran. Dilakukan dengan cara: fasilitator mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan peserta merespon secara lisan.
  12. Curah Pendapat / Brainstorming:Suatu bentuk diskusi dalam rangka menghimpun gagasan, pendapat, informasi, pengetahuan, pengalaman, dari semua peserta. Pendapat dari masing-masing peserta tidak untuk ditanggapi tetapi dikompilasi sehingga didapat kumpulan pendapat, informasi, dan pengalaman dari semua peserta yang selanjutnya dijadikan peta informasi, peta pengalaman, atau peta gagasan (mind-map) untuk pembelajaran bersama.
  13. Bermain peran / Role Play: Metode untuk ‘menghadirkan’ peran-peran yang ada dalam dunia nyata ke dalam suatu ‘pertunjukan peran’ di dalam kelas/pertemuan, yang kemudian dijadikan sebagai bahan refleksi agar peserta memberikan penilaian terhadapnya. • Metode ini lebih menekankan terhadap masalah yang diangkat dalam ‘pertunjukan’, dan bukan pada kemampuan pemain dalam melakukan permainan peran.
  14. Simulasi: • Metode praktek yang sifatnya untuk mengembangkan keterampilan peserta belajar (keterampilan mental maupun fisik/teknis). • Metode ini memindahkan suatu situasi yang nyata ke dalam kegiatan atau ruang belajar karena adanya kesulitan untuk melakukan praktek di dalam situasi yang sesungguhnya. •Contoh: simulasi penerbangan.
  15. Praktik Lapangan: Bertujuan untuk melatih dan meningkatkan kemampuan peserta dalam mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang diperolehnya. Kegiatan ini dilakukan di ‘lapangan’, yang bisa berarti di tempat kegiatan sesungguhnya dilaksanakan, tapi pada pembelajaran online bisa dibuat dengan teknologi virtual reality.
  16. Permainan/Game: Populer dengan berbagai sebutan antara lain pemanasan (ice-breaker) atau penyegaran (energizer). Dimaksudkan untuk membangun suasana belajar yang dinamis, penuh semangat, dan antusias melalui suasanabelajar yang serius tapi santai. Digunakan sebagai bagian dari proses belajar, bukan hanya untuk mengisi waktu kosong atau sekedar permainan. Sebaiknya dirancang menjadi suatu ‘aksi’ atau kejadian yang dialami sendiri oleh peserta, kemudian ditarik dalam proses refleksi untuk menjadi hikmah yang mendalam (prinsip, nilai, atau pelajaran-pelajaran).
  17. Tim Ahli – Jigsaw: Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut.• Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda untuk dibahas.• Anggota dari tim yang berbeda yang telah mempelajari bagian/sub bab yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab yang menjadi bagia mereka.• Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab yang mereka kuasai, dan anggota lainnya mendengarkan. Bila perlu anggota tim dapat memberikan pedapat untuk memperjelas materi yang dipelajarinya.• Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi dari timnya masing-masing. • Fasilitator bersama peserta memberi tanggapan dan evaluasi terhadap presentasi dari tiap-tiap tim.• Penutup dengan mengambil kesimpulan.

Referensi
Peraturan Kepala BPPK Nomor PER-2/PP/2019 tentang Pedoman E-Learning di KementerianKeuangan
Chaeruman, Uwes. 2013. Merancang Model Blended Learning. Diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/332497331 Pengembangan M odel Desain Sistem Pembela.jaran Blended
Indrawati, Efi Dyah dan Mila Mumpuni. 2016. Modul Analisa Instruksional. Jakarta: Pusdiklat Keuangan Umum.

Active Learning Strategies that I Use after the Covid-19 Pandemic

Active learning is any learning activity in which the learner participates or interacts with the learning process, instead of passively taking in the information. It was a lot easier to engage my trainees in an active learning session before Covid-19 pandemic, as mostly our sessions are face-to-face one. I use flipped classroom for PKN STAN students, and in Pusdiklat Keuangan Umum I mostly use drills, discussion, case studies, simulation, even role play for the sessions. But since the beginning of 2020, I must use Zoom to deliver trainings. So I’ve got to be more selective in the strategies to use. So, how can I maintain the active learning sessions via Zoom? Here are my experience.

  1. Building rapport from the very beginning. I do it by smiling and making eye contact with the participants (that means I do that to the camera :D). This is so simple and easy, but I think a lot of teachers and presenters fail to do it. If you can make a genuine smile from the very start, you make your participants and audience feel welcomed , you show them that you are a passionate person to help them with their learning.
  2. Strong opening. There are many ways, such as with a joke, a question, a cartoon. a story, a pantun, or surprising facts. It will sure make the participants absorbed to you material from the start, and I normally engage some participants with the opening I make (like asking for their response, mentioning their names in the story, etc). Sometimes I just use an opening game that I play from wordwall, mentimeter, kahoot, or quizizz. Just to break the ice.
  3. Simple explanation. KISS. I just share the core messages and then leave the participants to discuss further with partner/peer or with small group.
  4. Ice breaking, especially every 1 hour. Just simple instructions for performing something together, like stand up and claps your hand twice or four times etc., stretching, or just karaoke together. Will change the class mood into a better one.
  5. When I need to get a brainstorming, polling, survey, or voting, I will just use mentimeter.com. or sli.do So much time saving and really fun.
  6. For practice exercise, especially with the theory, I just use Quizizz.com (you can use Kahoot for alternate app). Actually I’ve been using this for almost 4 years already, and nowadays it’s pretty much often to use this to save my time grading my trainees’ understanding.
  7. Using Google Slides for alternate quiz. I just need to open Google Drive and open the file I want to assign, then make a copy of the file, rename It, and save it. After that I can modify the copy – delete slides, add slides, and add in More Directions. Then open Google Classroom, click the Classwork Tab, and click Create and then Assignment. As simple as that.
  8. I usually ask my students and trainees to make a summary of lesson learnt. I show them how I do it using mindmaster.com or mindmeister.com.
  9. These days I have been giving freedom to my participants to make daily learning reflecttion in any forms they like: voice note, infographic, word file, video, anything. It’s fun to get their learning journals in many variations. I can use seesaw.me or just trello. So much fun.
  10. Make a collaborative work using padlet.com. This is super fun really. I once make my trainees write their wishes and hopes for the training they are taking, and other people can comment and like their postings. This really engaging and bonding.

That’s all for now. Will post another articles for upcoming updates. Happy teaching, guys…

Additional notes on July 29, 2021

OK so far this month I have found more learning tools for teaching and learning in class, just alternate options for what I have written above. These will sure make our online class sessions more engaging. They are:

wordwall.net

raptivity.com

netboard.me

proprofs.com

edpuzzle.com

oddlu.org/home

wooclap.com

classtime.com/en

Have a try, guys. Have a good time teaching!

The Relationship Between Motivation, Anxiety, and English Proficiency at Pusdiklat Keuangan Umum Jakarta

This is my full article for the first UICELL seminar few years ago.

The Relationship Between Motivation, Anxiety, and English Proficiency at Pusdiklat Keuangan Umum Jakarta

Efi Dyah Indrawati

(efi_dyah_i@yahoo.com)

Ministry of Finance RI

The study analyses motivation and anxiety in relation to the English proficiency of trainees of English at Pusdiklat Keuangan Umum (PKU) Jakarta. Based on a survey consisting of AMTB questionnaire, FLCAS questionnaire, and the result of English proficiency test, the findings revealed that there were a high level of motivation and moderately high level of anxiety in learning English among PKU trainees, as well as an intermediate level of English proficiency. Also, motivation was more significant than anxiety in influencing English proficiency, but both variables were found to have not a very strong relationship with it, which is only 0.291 to affect on English proficiency. Therefore, based on goodness of fit statistics, there should be variables other than motivation and anxiety to be put in the regression model. Finally, the study puts several suggestion and recommendations for teachers, training center, and future researchers in the area.

Keywords: motivation, anxiety, English proficiency, Pusdiklat Keuangan Umum

Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat motivasi dan tingkat kecemasan, serta hubungan antara motivasi, kecemasan, dan English Proficiency pada peserta diklat bahasa Inggris di Pusdiklat Keuangan Umum Kementerian Keuangan RI di Jakarta. Dengan survei menggunakan kuesioner motivasi AMTB, kuesioner kecemasan FLCAS, serta nilai TOEFL test, diperoleh hasil bahwa peserta diklat bahasa Inggris PKU memiliki tingkat motivasi tinggi dan tingkat kecemasan cukup tinggi. Motivasi dan kecemasan memiliki korelasi positif dengan English proficiency. Selain itu motivasi memiliki pengaruh yang lebih signifikan terhadap English proficiency, meskipun hubungan dua variabel lemah pada taraf signifikansi 0.291. Dari sini disimpulkan bahwa harus ada variable-variabel lain yang dapat mempengaruhi English proficiency untuk ditambahkan dalam model regresi. Pada akhir penelitian diberikan beberapa rekomendasi bagi para pengajar bahasa Inggris, Pusdiklat Keuangan Umum, serta peneliti yang akan melakukan studi serupa.

INTRODUCTION

There have been many linguists and psychologists tried to associate the success of foreign and second language learning with affective factors, among which are motivation and anxiety as important predictors of foreign language performance. Many studies have generated context-specific findings on the identification and formulation of foreign language motivation and anxiety, and the assessment of their impact on the learning experience (Horwitz, Horwitz & Cope; Gardner, Day & MacIntyre; MacIntyre & Gardner; Wei). However, little empirical study is available to understand motivation and anxiety in English learning in Indonesia, a foreign language setting. Indonesian authors such as Laturiuw and Marlina, only suggested the study on motivation among different groups of EFL learners in Indonesia. Yet, no formal study studies have been conducted to examine the relationship between motivation, anxiety, and English proficiency among  adult learners serving as government officials. Therefore, this study will endeavor to provide empirical evidence on affective studies by examining the motivation  and  anxiety of  Indonesian learners   of   English, in particular Ministry of Finance (MOF) officials learning at Pusdiklat Keuangan Umum (PKU) MOF,   and  consider  how   the   two  factors  correlate to their proficiency in English. PKU itself is an echelon II unit under Finance Education and Training Agency MOF that provides many general trainings except for areas of taxation, budgetary, customs and excise, and state assets. As English is getting more emphasized in MOF as the international means of communication and knowledge distribution, every year PKU delivers more and more English courses for MOF officials. It is then very important to know PKU trainees’ affective factors to provide some contributions both theoretically and practically. Theoretically, this can support the existing theories on motivation and anxiety and provide one empirical evidence for Indonesian EFL setting, specifically in a government training center. Practically, this study is expected to contribute to the improvement of English teaching at PKU by taking into account affective factors, i.e. motivation and anxiety, to minimize participants’ problems in learning English and to enhance language-learning effectiveness in PKU classroom teachings.

Therefore the research questions are as follows:

  1. What is the level of motivation and anxiety of PKU trainees in learning English?
  2. What is the relationship between PKU trainees’ motivation and their English proficiency?
  3. What is the the relationship between PKU trainees’ anxiety and their English proficiency?
  4. What is the relationship between PKU trainees’ motivation and anxiety  towards their English proficiency?

And the verbal hypotheses for research questions are:

Research Question No. 2

H1.1 =   There is a relationship between motivation  and English Proficiency.

H0.1 =   There is no relationship between motivation and English Proficiency.

Research Question No.3

H1.2 =   There is a relationship between anxiety and English Proficiency.

H0.2 =   There is no relationship between anxiety and English Proficiency.

Research Question No.4

H1.3 =  There is a relationship between motivation and anxiety towards English Proficiency.

H0.3 =   There is no relationship between motivation and anxiety towards English Proficiency.

METHOD(S)

Research Design

The research is quantitative using a cross-sectional approach, whereas subjects’ characteristics were studied once before the relationship had been determined. To investigate the relationship between three variables, a correlational design is used. The researcher employed descriptive analysis to answer research question number 1 and an  inferential  analysis using  correlational technique  to  answer research question number 2, 3, and 4.

Variables:

  1. English Proficiency is a prediction of someone’s ability or skill to perform in English  language measured by a performance test consisting  of  standardized  multiple-choice  items  on  grammar,  vocabulary,  reading  comprehension,  and aural  comprehension (Brown).
  2. Motivation is the extent to which an individual works or strives to learn the language because of a desire to do so and the satisfaction experienced in this activity, subsumed in three components: motivational intensity, desire to learn the language, and an attitude towards the act of learning the language (Gardner). In addition, motivation is also manifested through integrativeness, attitudes towards the learning situation, language anxiety, and attributes like instrumental orientation and family encouragement.
  3. Anxiety is the feeling of uneasiness, worry, nervousness and apprehension experienced by non-native speakers when using a foreign language, including speaking, listening, and learning. It comprises three main categories: communication apprehension, test anxiety,  and fear of negative evaluation. (Horwitz, Horwitz, & Cope)

Instruments:

  1. Background Questionnaire

The background questionnaire consists of ten questions on the subject’s name, age, gender, work unit , length of English learning, English test taken, experience in an English-speaking country, and their feeling about an English class. The last two questions are  open-ended ones to obtain personal motivation and anxiety of each trainee in learning English.

  •  Motivation Questionnaire

The motivation questionnaire is taken from Gardner’s Attitude/Motivation Test Battery (AMTB) version 2004, with 104 items for the 6-point Likert Scales. The researcher changes the word ‘Japan’ into ‘Indonesia’ , “school” into “training/ course”, “teacher” to “trainer”, and ‘’job to “position” on several items to make the items explicitly represent characteristics of government training course setting. The researcher also changes the original  word “parents” to “family” to represent better choice for adult respondents. The Cronbach’s Alpha of AMTB is 0,926 (Excellent), therefore the instrument is valid for the research.

  • Anxiety Questionnaire

The anxiety questionaire is adapted from the English version of the Foreign Language Classroom Anxiety Scale (FLCAS) designed by Horwitz  in 1986, consisting of 33 items. The researcher changed “Foreign Language” into ‘English and also changed the original 5-point Likert Scale into a 6-point Likert Scale (ranging from ‘Strongly Disagree’ to “Strongly Agree’) to avoid clustered responses in the middle  of  the  scale and to provide more  valuable  information for statistical analysis.

There are eight items for communication anxiety (1, 9, 14, 18, 24, 27, 29, 32), nine items for fear of negative evaluation (3, 7, 13, 15, 20, 23, 25, 31, 33) and five items for test anxiety (2, 8, 10, 19, 21).  The  remaining eleven  items  are  put  in a  group  named as  anxiety of English classes. The result of reliability statitics Cronbach’s Alpha of FLCAS is 0,824 (Good); therefore, the instrument used is valid for the research

  •  Proficiency Test

The proficiency test used is a TOEFL (PBT) developed by PKU for English placement test. It consists of three sections: Listening, Structure and Written Expression, and Reading Comprehension, with a total items of 140. The English Proficiency score in this study is indicated by the TOEFL score reported as the result of English Placement Test year 2015.

Setting and Participants

The study is conducted in 2016 at Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Keuangan Umum or PKU located in Pancoran, South Jakarta – Indonesia. A total sample of 80 PKU trainees participated in the study and only 48 responses are found usable for data analysis.

Data Collection Method(s) and Analysis

The study uses a decriptive analysis to describe the total view of the information or data from answers no. 1 through 10 of the background questionnaire, which includes frequencies and percentages. The data analysis uses MS.Excel for statistical calculation.

From the background questionnaire no. 9 and 10, the researcher enlists all answers and categorizes them based on the sameness of the content, then fed the data into MS-Excel. The result was then summarized in a table and presented in a pie chart.

To score the Likert-Scales items on the motivation questionniare/ATMB, the researcher uses the guideline as seen on Appendix 4. For the negatively worded items, the scoring must be reversed in order to make the instrument reflect the motivation in descending order. A high score (maximum = 624) indicates a high motivation in learning English, and a low score (minimum = 104) indiates a low motivation in learning English.

To score the anxiety questionnaire or the FLCAS, the researcher uses the guideline from table 5. Responses ranged from 6 (Strongly Agree) to 1 (Strongly Disagree), with a minimum score of 66 meaning a very low anxiety and maximum of 198 meaning very high anxiety.

The most items (22 items) in the FLCAS are negatively worded, and they are scored as indicated by the table above. Items number 2, 5, 8, 11, 14, 15, 18, 22, 24, 28, and 32 (which are positively worded) are inversely scored to make the instrument reflect the degree of anxiety in ascending order.

The score for English proficiency test is taken from the result of English placement test using a paper-based TOEFL test. The PBT scores, ranging between 310 to 677, is based on three subscores: Listening (31-68), Structure (31-68), and Reading (31-67), and they define PKU trainees’ level of proficiency.

After three scores for motivation, anxiety, and TOEFL were obtained, the data were illustrated to enable the calculation for regression, which is performed by SPSS 23. But before conducting the hypothetical testing, the researcher had completed the prerequisite testings, which include tests on normality, homogeneity, and linearity. The results indicated that all variables are normally distributed, the model equation is linier (i.e. variables are appropriate), and there is no heteroscedascity of the variances in the regression model (i.e. the population sample is homogenous).

FINDINGS AND DISCUSSION

Findings

From the background questionnaire, it was shown that participants’ age varied from 20 to 40 years old, with male participants (86%) outnumbered female (14%) in the sample. They came from different units in the MOF: Setjen (12), DJPK (3) , DJP (22) , DJBC (7) , DJPPR (4), DJKN (12), Itjen (2), BKF (6), BPPK (12). They have various length of previous study with English but the majority (43%) have more than 10 years of learning English. Participants also show different background of acquaintance with an English speaking country but the biggest portion (65%) mentioned they have never visited any English speaking countries. Dealing with question on their feeling about English class (Q8), all participants (100%) likes their class. The major reason by 32 participants says that English class improves English knowledge and ability. The remaining answers given are participants have personal drives and love for learning, English class is fun, and they need certain environment to learn English. The answers to Q9 on what motivates trainee in learning English (open-ended question) vary greatly, but the top three answers are  they want to study abroad (34 participants), they want to speak English fluently (29 participants), and English is an international language for global communication (27 participants). The result of Q10 indicates that 46 participants admitted that they did not have anything to worry or scare in learning English. But, others mentioned their anxiety such as speaking (52), limited Grammar (34), limited Vocabulary (27), Listening (16), making mistakes (9), English teacher (7) English tests/exam (7), and Writing (5). Some other mentioned that English is very difficult/complex to learn (10), and that they are shy/not confident (5).

Dealing with the English proficiency score, the participants demonstrate intermediate to middle-intermediate-range of proficiency. In other words, the average level of PKU English trainees’ proficiency for this study is middle intermediate.

The finding for research Research Question no.1 can be seen from the following Figure 1:

Figure1: Descriptive Statistics of AMTB and FLCAS

Descriptive Statistics
 NMinimumMaximumMeanStd. DeviationVariance
EFL Anxiety4889153116,2113,905193,360
EFL Motivation48382551469,3536,1651307,893
Valid N (listwise)48     

As shown in the above figure, the mean score of participant’s level of anxiety is 116,21. Given that the mean scores of the minimum and the maximum levels of the anxiety experienced by the participants are 89 and 153, it can be said that the participants in this study have moderately high language learning anxiety. As also evident in the table, the mean score of participants’ motivation to learn English is 469,35, their maximum level is 551 and their minimum level is 382. It can be concluded that participants’ motivation is high.

The three-highest ranks for AMTB items, which means above 5 (indicating a high level of attitudes) are question no. 8 (mean=6), no. 15 and no. 18 (mean=5.6), and no. 35, 76, and 72 (mean=5.5).

It is also indicated that the overall mean for each item on AMTB was 4,5 (SD = 1), which suggest that participants have  a relatively high level of motivation. This result matches with the subjects’ response on the open-ended question in the background questionnaire, which reveals that 100% of the participants like English class and the desire to study or continue their education abroad as the most given motives in learning English.

Descriptive statistics for FLCAS items showed that the participants demonstrated a wide range of anxiety levels, ranging from 2.4 to 5.1 (maximum score per item = 6). The ranks for the mean score for anxiety from the highest to the lowest are question number 5, 27, 7, 22, 2, 21, 1, 9, 23, 13, 17, 26, 32, 33, 11, 24, 29, 15, 28, 10, 14, 30, 25, 31, 4, 12, 19, 3, 6, 18, 20, and 16.

Top five anxiety statements, which all had mean values exceeding 4, were from questions 5 (mean=5.1, SD=0.9) and no.27 (mean=4.4, SD=1) and no 2, 7, 23 (mean=4.1 SD=1).  These items seemed to reflect a generally negative and passive attitude toward English class.

The data also shows that the overall mean for each anxiety items was 3,5 (SD =1,2), which indicates that participants were in moderate anxiety level. This finding explains the result of the open-ended question from the background questionnaire that 13 participants (27%) do not have any worry in English class, while the rest indicated an anxiety, especially in three biggest reasons: speaking (35%), limited grammar (27%), and fear of making mistakes (15%). That means students showed anxiety, but not very high.

The next Figure 2 shows the output of the SPSS23 program to get the regression model to predict English proficiency through motivation variable (Question No.2)

Figure 2: Motivation and English Proficiency (Partial)

Model Summary
ModelRR SquareAdjusted R SquareStd. Error of the Estimate
1,392a,154,13523,319
a. Predictors: (Constant), EFL Motivation
Coefficientsa
  ModelUnstandardized CoefficientsStandardized CoefficientstSig.
BStd. ErrorBeta
1(Constant)345,35444,965 7,681,000
EFL Motivation,273,095,3922,863,006
a. Dependent Variable: EFL Proficiency

The estimated model of regression would be Y = 345,354 + 0,273X1. This means that 1% increase of motivation will increase English proficiency as high as 27%.

The following Figure 3 is the output of the SPSS23 program to obtain the regression model to predict English proficiency through anxiety variable (Research Question no.3)

Figure 3: Anxiety and English Proficiency (Partial)

 
Coefficientsa
ModelUnstandardized CoefficientsStandardized CoefficientstSig.
BStd. ErrorBeta
1(Constant)431,68930,517 14,146,000
EFL Anxiety,361,261,2021,387,172
a. Dependent Variable: EFL Proficiency

The estimated model would be Y = 431,689 + 0,361 X2. This means that 1% increase of anxiety will increase English proficiency as high as 36%.

Figure 4 we the extent of the relationship between motivation and anxiety simultaneously towars English proficiency, we need to see the following result.

Figure 4: Motivation, Anxiety and English Proficiency (Simultaneous)

Model Summary
ModelRR SquareAdjusted R SquareStd. Error of the Estimate
1,567a,321,29121,085
a. Predictors: (Constant), Anxiety Score, Motivation Score
Coefficientsa
ModelUnstandardized CoefficientsStandardized CoefficientstSig.
BStd. ErrorBeta
1(Constant)196,60860,163 3,268,002
Motivation Score,398,092,5744,303,000
Anxiety Score,774,240,4303,221,002
a. Dependent Variable: TOEFL Score

For the hypothetical testing, the estimation equation model resulted from SPSS23 is as follow:  Y = 196.608 + 0.5398X1  0,774X2.

The equation means that motivation (X1) and anxiety (X2) altogether are related to English proficiency (Y), in which the correlation of both are positive. That means when motivation is raised by 1% therefore it will increase proficiency score by 39% and if anxiety is raised by 1%, it will increase proficiency score by 77%. The equation demonstrates that anxiety contributes a greater percentage to proficiency than motivation does.

The value of coefficient determination (R-squared) is 0,321, which means that motivation (X1) and anxiety (X2) variables can explain proficiency variable (Y) in 32%, while the other 68% are explained with different variables. The adjusted R-squared is smaller, indicated by a value of 0,291, meaning that other variables needs to be included in the model.

The coefficient is positive for motivation (0,574), which means there is a positive relationship between motivation and proficiency. For anxiety, there is also a significant positive correlation, indicated by a parameter of 0,430. These are in line with the first hypotheses that motivation will have a positive influence to proficiency. In addition, a rise in anxiety will increase proficiency, and this is in line with the second hypothesis that there is a relationship between anxiety and proficiency. Therefore, H null is rejected.

To view the significance of variables, motivation variable (X1) is more significant than anxiety (X2). The result shows that motivation and anxiety altogether have influence to English proficiency; therefore, the third hypothesis is accepted.

Discussion

The motivation level as shown by the motivation questionnaire was generally high, which was supported by students’ feeling in the open-ended question in the background questionnaire saying that they like English classes for three major reasons: “I need English to study abroad”, “I want to speak English fluently,” and “English is an international language for global communication”. This is also supported by the most-higly-rated answer to Q8 in the AMTB saying that Studying English is important because it will allow me to be more at ease with people who speak English. This supports many previous studies on motivation as one predictor in the success of EFL learning, although this study doesn’t attempt to focus on which type of motivation that plays role in English learning success.  

     But, seeing the top three major reasons from the background questionnaire, it can be said that PKU trainees were both instrumentally and integratively motivated. Instrumental motives that they wanted to study abroad and that English is an international language for global communication were more frequently given than the motive of being able to speak English fluently. From AMTB, the reponses are supported by top answered questions saying form Orientation Construct that Studying English is important because I will need it for my career and Studying English is important because it  will make me more educated.  It can indicate that PKU trainees learn English for more instrumental reasons, especially more reasons such as to travel abroad, to gain scholarship abroad, to enjoy entertainment, to advance in their career, and to improve knowledge were also given in their response to background questionnaire. The finding corresponds to the observation made by Dornyei that: “Instrumental motivation, intellectual, and sociocultural motives, and/or other motivational factors … may acquire a special importance, although affective factors that are normally part of integrative motivation in SLA contexts do play a role in FL … that differs from those emerging in SLA contexts“ (Dornyei, 1994). But the researcher views the finding does not necessarily invalidate Gardner’s integrative-instrumental model. As Dornyei noted: “Instrumentality and especially integrativeness are broad tendencies on subsystems rather than straightforward universals, comprising context-specific clusters of loosely related components.

It is also not surprising that the analysis showed a positive relationship between motivation and English proficiency. That validates Gardner et al. (1992) previous assumption that motivation can result in better learning achievement.

The finding also shows a significant positive relationship between anxiety and English proficiency, which is unlike other studies that indicate a negative coefficient for anxiety. The anxiety level as shown in this study is inconsistent with that of Wei (2007), who found a negative relationship and moderate level of anxiety among Chinese students.  The background questionnaire that reveals speaking as the main factor to make trainees anxious is in accordance with what Horwitz et al. claim that many learners experience anxiety “in response to at least some aspects of foreign Language learning.” What is worth noting in the finding is the general negative attitude toward English classes is accompanied by some confidence or positive attitude, as shown by the top-five-rated anxiety statements from FLCAS: (Q5) It wouldn’t bother me at all to take more English classes, (Q27) I get nervous when I’m speaking in my English class, (Q2) I don’t worry about making mistakes in English classes, (Q7) I keep thinking that the other trainees are better than me, and (Q23) I always feel that the other trainees speak Englsih better than me. Since trainees’ motivation score is previously reported high, it is understandable that PKU trainess have moderate anxiety.

    This finding of trainees’ anxiety is noteworthy since involvement in language learning process in a classroom is very important to the learning effectiveness in foreign language settings. The response to FLCAS items by the participants in this study probably indicates that anxious trainees are common in English classrooms even at a governmental training center, where the trainees are adult people. But, the generally negative attitude towards English classes could affect the effort in English learning. Phillips (1992) stated: “In today’s proficiency oriented classroom, teachers must continue to view foreign language anxiety as a serious problem to encourage students to further their education in foreign languages. The more desire trainees feel to learn about the target language and culture, the more effort they should take in their English learning. Therefore it’s crucial to make PKU trainees less anxious in the classroom. This will be task of PKU to organize English trainings with encouraging situations to promote trainees’ learning. Trainers also need to be enriched with various delivery methods and skills that will make classrooms not threatening but motivating and engaging.

      The findings also prove that there was relationship between anxiety and English proficiency, between anxiety and English proficiency, and also both motivation and anxiety towards English proficiency simultaneously, although the extent of influence was not very strong.  This is consistent with Gardner’s (1988) notion that (integratively) motivated students are less anxious in second language context. This is also consistent with Wei’s study that anxiety and motivation overall were not significantly correlated, and integrative motivation was the predictor of low anxiety.  In addition, it also agrees with Yan’s (1988), which reported that the strength of student motivation and anxiety were negatively correlated and lack of motivation could result in anxious behavior.

It is also shown how motivation was more significant with English proficiency than anxiety, which can be concluded that the more motivated the students were, the more effective their learning was, as indicated by a higher score on the proficiency test. Dealing with anxiety variable that is not significant in the result, that means this study is still in favor of the theory. Both motivation and anxiety are related to English proficiency, and the empirical findings show the results indicate a positive correlation.

The study also shows that both motivation and anxiety altogether can only explain English proficiency in 29% which means that other variables has more influence of 71% than those two affective factors. This is in line with Gardner’ model that motivation and anxiety are just a part of learner’s differences. Other learner factors, such as intelligence or personality, could be considered taken into account for further research to provide an empirical proof.

       In addition, motivation by itself is a complex construct; effort (motivational intensity), cognitions (desire), affect (attitude), and goal are just the notion by Gardner’s model, further studies could consider using more attributes in motivation or using revised or developed models. Also, further studies with consideration of a wide range of factors such as curriculum design, language planning, and other sociocultural issues are needed to explore fully how motivation and anxiety are related to language proficiency. It is also need to be noted that this study is context-specific, as the sample is taken from one governmental training center. Therefore, the limitation of participants to only one governmental institution do not allow one to conclude that in general to all government officials in Indonesia. It would be more desirable for further studies to include a larger sample with more diverse backgrounds, so that the findings will be more generalizable. And lastly, further studies with broader qualitative and a quantitative perspectives should be undertaken in order to reach better results regarding the social-psychological aspects of foreign language learning in Indonesian goverment training center.

CONCLUSIONS

The followings are some important conclusions made:

  1. This study is intended to understand the level of motivation and the level of anxiety PKU trainees in learning English, as well as the correlation between motivation and English proficiency, between anxiety and English proficiency, and the relationship between learner’s motivation and anxiety towards their English proficiency. Overall, the results indicated a high motivation level and a moderate anxiety level, both are positively correlated with the participant’s English proficiency.
  2. There is a positive relationship between motivation and English proficiency, between anxiety and English proficiency, and simultaneously between motivation and anxiety towards English proficiency. That means every changes in the affective factors will give influence to English proficiency.
  3. The analysis suggested that motivation was found to be more significant than anxiety in influencing English proficiency. However, the two variables were found to have weak relationship with English proficiency, which suggested that variables other than motivation and anxiety have bigger influence on English proficiency, which need to be investigated in further studies.
  4. Foreign language learning is a complex process. Affective factors are interrelated and not the only factors that influence English proficiency or language learning success, which may be in part a result of classroom environments. Classrooms should be places where motivation can be encouraged and anxiety should be minimized, with trainers who are capable of promoting good learning environment for trainees.

The further recommendations are as the followings:

  1. For Trainers

English teaching practice should be made into a more motivating experience. Classroom activities must be carefully developed to increase trainees’ confidence, self-esteem, and level of participation. Trainers must develop methods and strategies that maintain trainees’ interest and commitment to improve language proficiency.

  • For PKU Training Center

The implementation of language requirements (concerning some English trainings with certain minimum score for passing grade, such as in the General English course) need to be re-evaluated more thoroughly and carefully on the actual effect on the learning process. In other words, implementing rules must take into account affective factors to promote learning success, so that trainees will become less anxious, more confident, and more capable learners.

  • For Researchers

More research on affective factors need to be conducted by:

  • including other learner factors, such as intelligence and personality
  • using larger sample and more diverse backgrounds
  • using broader qualitative and quantitative perspective, such as phenomenological approach and factor analysis.

 

THE AUTHOR

Efi Dyah Indrawati is a civil servant in Finance Education and Training Agency of Ministry of Finance (FETA – MoF) of Indonesia, with her current position as a senior trainer at Pusdiklat Keuangan Umum (PKU) or General Finance Education and Training Center in Pancoran – Jakarta. She is also a lecturer at the State Finance Polytechnic (PKN) STAN in Jakarta.

As a senior trainer, her duties are designing training programs, formulating curriculum, performing evaluation and assessments, and lecturing at FETA’s trainings particularly in the field of training management, English communication, and human resource management. As PKN STAN lecturer, her responsibilities are delivering lectures and seminars, developing course materials, assessing students course works, setting and checking examinations, and supporting advisory role for Diploma I and Diploma III students.

REFERENCES

Brindley, G. & Slater, H. (2002). Exploring task difficulty is ESL listening assessment. Language Testing, 19(4), 369-394.

Brown, H. D. (2004). Language assessment: Principles and classroom practice. New York: Longman.

Brown, J. D. (1996). Testing in Language Programs. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Brown, H. D. (2004). Language Assessment: Principle and Classroom Practices. New York: Prentice Hall.

Carroll, J. B. and Sapon, S. (2002). Characterictics of Succesful Second Language Learners. New York: Regents Publishing Company, Inc.

Crookes, G. and Smith, R. W. (1991). Motivation: Reopening the Research Agenda. Language Learning 41. 469-512.

Deci, E. L. and Ryan, R. M. (2008). Self-Determination Theory: A Macrotheory of Human Motivation, Development, and Health. Canadian Psychology, 49 (3): 182-185.

Dörnyei, Z. (1998). Motivation in Second and Foreign Language Learning. Language Teaching 31:117-135.  

Dörnyei, Z. (1994). Understanding L2 Motivation: On with the challenge! Modern Language Journal, 78: 515-523. 

Dörnyei, Z. (1990). Conceptualizing Motivation in Foreign-Language Learning. Language Learning 40:1 : 45-78.

Ely, C. (1986). Language Learning Motivation: A Descriptive and Causal Analysis. The Modern Language Journal 70(1), 28-35.   

 Fraenkel, J. R. and Wallen, N.E.. (2007). How to Design and Evaluate Research in Education. 6th Ed. Singapore: McGraw-Hill.

Gardner, R. C. (1988). The Socio-Educational Model of Second Language Learning: Assumptions, Findings, and Issues. Language Learning, 38: 101-126.

Gardner, R.C. (1985). Social Psychology and Language Learning: The Role of Attitudes and Motivation. London: Edward Arnold. 10.

Gardner, R.C., Day, J.B., and MacIntyre, P. D. (1992). Integrative Motivation, Induced Anxiety, and Language Learning in a Controlled Environment. Studies in Second Language Acquisition, 14 (2): 197-214

Gardner, R.C. and MacIntyre, P.D. (1993). On the Measurement of Affective Variables in Second Language Learning. Language Learning 43. 157-194.

Gardner, R.C.  and Smythe, P.C. (1981). On the Development of Attitude/Motivation Test Battery. Canadian Modern Language Review 37. 510-525

Horwitz, E.K., Horwitz, M.B., and Cope, J. (1986). Foreign Language Classroom Anxiety. The Modern Language Journal, 70: ii.

Laturiuw, A. K. (2002). A Study of Motivational Factors in Groups of EFL Learners Using Williams and Burden’s Model. Jakarta: Master Thesis of Program Pascasarjana Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

MacIntyre, P.D. and Gardner, R.C. (1994). The Subtle Effects of Language Anxiety on Cognitive Processing in the Second Language. Language Learning, 44: 283-305.

MacIntyre, P.D. and Gardner, R.C. (1991). Investigating Language Class Anxiety Using Focused Essay Technique. The Modern Language Journal  75(3), 296-304.

Marlina, L. (2007). Motivation and Language Learning: A Case of EFL Students. Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya Tingkat Internasional 5: 110-115.

McDonough, S.H.  (1981).  Psychology in Foreign Language Teaching. London: Allen and Unwin.

Noels, K.A., Clement, R. and Pelletier, L.G. (1999). Perception of Teacher’s Communicative Style and Students’ Intrinsic and Extrinsic Motivation. The Modern Language Journal 83 (1): 23-34.

Oxford, R.L.  and Shearin, J. (1994). Language learning Motivation: Expanding the Theoretical Framework. The Modern Language Journal, 78: 12-28. 

Phillips, D. (1995). Longman Preparation Course for the TOEFL Test: Skills and Strategies Vol. 1A. 2nd Edition. New York: Pearson ESL

Phillips, E. M. (1992). The Effects of Language Anxiety on Students’ Oral Test Performance and Attitudes. The Modern Language Journal, 76 (!): 14-26.

Pramesti, Getut. (2016). Statistika Lengkap secara Teori dan Aplikasi dengan SPSS 23. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Pyle, M. A. and Munoz, M. E. (1992). Cliff’s TOEFL Preparation Guide. New Delhi: BPB. Publications.

Rogers, B. (1998). Peterson’s TOEFL Practice Tests. New York: Longman-Addison.

Scovel, T. (1978). The Effect of Affect on Foreign Language Learning: A Review of the Anxiety Research. Language Learning 28: 129-142.

Schumann, J. H.  (1986). Research on The Acculturation Model for Second Language Acquisition. Journal of Multilingual and Multicultural Development, 7(3): 49-76.

Sujarweni, V. Wiratna. 2015. SPSS Untuk Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Tremblay, P. F.  and Gardner, R. C. (1995). Expanding the Motivation Construct in Language Learning. The Modern Language Journal, 79, iv :505-520.

Umar, H. (2003). Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Vroom, V. H. (1964). Work and Motivation. Oxford, England: Wiley.  

Wei, M. (2007.) The Interrelatedness of Affective Factors in EFL Learning: A Motivational Patterns in Relation to Anxiety in China. Teaching English as Second Language  Journal 11(1), 23.

Wen, X. Motivation and Language Learning with Students of Chinese. Foreign Language Annals, 30 (2) 235-251.          

Yan, X. An Examination of foreign Language Classroom Anxiety: Its Sources and Effects in a College English Program in China. Unpublished doctoral dissertation, University of Texas, Austin, Tx.

APPENDIX 1

Table 1

Instrumentation for Motivation

VariableIndicatorsItem NumberTotal Item
Positively WordedNegatively Worded
Attitude/Motivation Interest in Foreign Languages1, 21, 42, 65, 8512, 32, 55, 76, 9510
Family Encouragement2, 22, 43, 48, 57, 66, 86, 103N/A8
Motivational Intensity13, 33, 56, 77, 963, 23, 44, 67, 8710
English Class Anxiety16, 36, 60, 80, 984, 24, 45, 68, 8810
English Teacher Evaluation5, 25, 46, 69, 8914, 34, 58, 78, 9710
Attitudes toward Learning English6, 26, 47, 70, 9018, 38, 62, 82, 10010
Attitudes toward English-speaking people7, 27, 40, 53, 49, 71, 91, 104N/A8
Integrative Orientation8, 28, 50, 72N/A4
 Desire to Learn English9, 29, 51, 73, 9217, 37, 61, 81, 9910
English Course Evaluation20, 41, 64, 84, 10210, 30, 52, 74, 9310
English Use Anxiety11, 31, 54, 75, 9419, 39, 63, 83, 101 10
Instrumental Orientation15, 35, 59, 79N/A4
TOTAL104

APPENDIX 2

Table 2

Instrumentation for Anxiety

VariableIndicatorsItem NumberTotal Item
Positively WordedNegatively Worded
AnxietyCommunication Anxiety14, 18, 24, 321, 9, 27, 298
Fear of Negative Evaluation25, 333, 7, 13, 15, 20, 23, 319
Test Anxiety2, 810, 19, 215
Anxiety of English Classes5, 11, 22, 284, 6, 12, 16, 17, 26, 3011
TOTAL33

APPENDIX 3

Table 3

Instrumentation for English Proficiency

VariableIndicatorsSub-IndicatorItem No.Total Item
English ProficiencyListeningShort ConversationLonger ConversationLectures/Talks  1-3031-3839-5050
Structure and written expressionCompleting SentencesError Identification  1-1516-4040
ReadingQuestions on reading  1-5050

APPENDIX 4

Table 4

Scoring Guidance for 6-Likert-Scale AMTB (positively worded)

AnswerScore
Strongly disagree1
Moderately Disagree2
Slightly Disagree3
Slightly Agree4
Moderately Agree5
Strongly Agree6

APPENDIX 5

Table 5

Scoring Guidance for 6-Likert-Scale FLCAS

AnswerScore
Strongly disagree1
Moderately Disagree2
Slightly Disagree3
Slightly Agree4
Moderately Agree5
Strongly Agree6

Apa Sih Model Pembelajaran 70:20:10?

Semua orang berkata jika pembelajaran di Corporate University harus memakai konsep model 70:20:10. Sebenarnya, apa sih model pembelajaran 70:20:10 itu? Istilah 70:20:10 mulai dicari di Google pada Mei 2007. Yang menggunakan istilah pertama kali yaitu Charles Jennings (Head of Global Learning and  Development di Reuters ) dalam wawancara CIPD podcast. Saat itu Jenning menjawab pertanyaan tentang peran line managers dalam learning and development  (L&D), dan saat itu pertama kali dia sebutkan konsep 70:20:10.  Jennings di kemudian hari menjadi pendiri The 70:20:20 Forum.

Dari sumber lain,  konsep 70:20:10 pertama kali dibuat oleh tiga peneliti dan penulis yang bekerja untuk  the Center for Creative Leadership (lembaga pendidikan nirlaba di Greensboro) yaitu Morgan McCall, Michael M. Lombardo dan Robert A. Eichinger. Ketiganya sedang meneliti key developmental experiences dari 191 manager yang sukses. Meskipun penamaan 70/20/10 tidak tercantum di buku The Lessons of Experience (1988), buku itu menceritakan proses menggali  informasi dari tiap manajer ttg  3 peristiwa penting dalam karir mereka , bagaimana kejadiannya, serta apa yang mereka pelajari dari peristiwa tersebut.

Dalam buku Career Architect Planner (1996) Lombardo dan  Eichinger merangkum hasil risetnya tadi sebagai  lessons learned bagi successful and effective managers adalah:

70 % dari penugasan (from tough jobs).
20 % dari orang lain (mostly the boss).
10 % dari courses dan reading.

Dua buku tadi merupakan sumber resmi yang menyebut 70:20:10 sebagai model pembelajaran di organisasi bisnis.

Selain itu ada Alan Tough (1960s), seorang Educational psychologist, juga dianggap yang awal mula menggunakan istilah 70:20:10 sebagai learning model.

Yang menarik , Kajewski and Masden (2012) menyatakan bahwa tidak ada asal usul istilah 70/20 10 itu. Menurut mereka, tidak ada data empiris yang mendukung istilah 70:20:10 meskipun dua sumber buku di atas sering disebut2.  Meskipun demikian tidak dipungkiri jika the 70:20:10 model menjadi momentum untuk mengembangkan learning yang mengombinasikan belajar dalam situasi formal dan informal  serta belajar dari orang lain

Prinsip utama yang mendasari belajar dengan model 70/20/10 adalah temuan Ebbinghaus Forgeting Curve. Hipotesanya adalah terjadi penurunan retensi memori sejalan dengan waktu. Kurva menunjukkan jika informasi makin hilang sejalan dengan waktu jika tidak ada usaha untuk melakukan retensi. Kekuatan mengingat (memory strength) adalah seberapa lama memori tersimpan di otak. Semakin kuat memori maka semakin lama seseorang mampu melakukan recalling. Pada gambar kurva tersebut, manusia cenderung menurun memori terhadap pengetahuan baru dalam beberapa menit dan hari. Jika tidak dilakukan usaha secara sadar untuk mereview pengetahuan baru tersebut. Usaha sadar itu adalah ‘putting the new knowledge skills into practice straight away’ –langsung mempraktikkan pengetahuan dan keterampilan baru itu segera. Maka jika hanya mengandalkan pengetahuan pegawai (misalnya pegawai baru)  dari pendidikan formal-nya saja maka dia tidak siap untuk bekerja karena pembelajaran formal dia hanya memberikan pondasi atau landasan teoritis tentang materi atau kompetensi tertentu. Saat dia bekerja itulah dia akan mendapatkan pengalaam riil dalam memecahkan masalah pekerjaan dia yang perlu untuk dicapture menjadi learning bagi organisasinya.  Dengan belajar sambil bekerja serta difasilitasi oleh senior leader sebagai mentor nya maka pegawai tersebut berusaha mengulang-ulang retensi dari pengetahuan yang didapat dan menerapka pembelajaran 702010.

Model Pembelajaran 70:20:10  banyak memberikan manfaat, yaitu

  • membuat semua pegawai bertanggung jawab terhadap learning mereka sendiri
  • mendorong sharing pembelajaran dan pengalaman
  • mengakui peran yang dapat dialakukan setiap orang dalam meningkatkan kinerja
  • memungkinkan setiap orang belajar dengan cara yang sesuai dengan mereka
  • memperluas pandangan semua orang tentang apa belajar itu
  • meningkatkan perencanaan pengembangan/development (tidak hanya dari menu saja)
  • mengubah pemikiran menjadi “apa yang bisa saya lakukan sekarang?”
  • mengembangkan ‘Budaya Belajar’ di organisasi

Banyak insight yang bisa kita dapatkan dari Model 70:20:10 tersebut. Di antaranya :

  • Apa yang kita pelajari di kampus/ di kelas tidak begitu membantu pekerjaan seperti yang kita kira
  • Kita bisa belajar banyak hal dari orang lain
  • OJT/magang maupun penugasan adalah cara paling efisien untuk mengembangkan pegawai
  • Banyak perusahaan dan organisasi menyusun pelatihan dengan model 70/20/10 ini
  • Hasilnya perusahaan/organisasi lebih fokus pada mentoring/pembinaan dan program knowledge sharing/berbagi pengetahuan

OK sampai di sini dulu tentang konsep Pembelajaran 70:20:10. Kita sambung lagi nanti dengan struktur desainnya seperti apa. Cheerioo….

Pengelolaan dan Pengembangan Tenaga Pengajar

Di dalam perencanaan dan pengembangan program pembelajaran tentunya dibutuhkan pengelolaan tenaga pengajar sebagai sumber belajar yang memiliki peranan terbesar dalam memastikan pencapaian tujuan pembelajaran. Secara administratif di BPPK (Unit Eselon I saya bekerja), kegiatan pengelolaan tenaga pengajar dilakukan oleh Subbidang Pengelolaan Tenaga Pengajar  (Subbid TP) di Bagian Renbangdik di Pusdiklat (Unit Eselon II), di mana cakupan tugasnya tidak hanya mengenai penugasan mengajar dan tugas kediklatan lainnya melainkan juga termasuk pengembangan kompetensi tenaga pengajar.

Subbid Pengelolaan TP juga menerbitkan rekomendasi tenaga pengajar, di mana manfaatnya adalah untuk memberi saran atau bahan pertimbangan kepada pihak yang paling bertanggung jawab dalam menentukan/ menunjuk pengajar yang akan mengampu materi pembelajaran tertentu, sesuai Rumpun Mata Keahlian yang dikuasainya. Adapun datanya bersumber dari database pengajar (dari subbidang tenaga pengajar) maupun hasil evaluasi pengajar yang telah diolah dari Bidang Evaluasi dan Pelaporan Kinerja (Evaluasi pengajar pelatihan sejenis), masukan dari narasumber saat rapat kurikulum, masukan dari Wali Program,  dan survey (mencari secara formal dan informal) baik melalui internet, lembaga. Dalam rekomendasi Tenaga Pengajar, subbid TP tidak hanya mempertimbangkan persyaratan administratif saja, tetapi wajib melihat prasyarat kompetensi (prerequisite) calon pengajar. Yang dimaksud dengan prerequisite adalah kompetensi awal atau minimal yang harus terpenuhi sebelum pengajar mendapat penugasan, dan kompetensi ini meliputi KSA, atau knowledge, skill, dan attitude dalam keahlian tertentu, yang bisa dilihat dari sertifikasi dan jam praktik yang dimiliki calon pengajar.

teacher_teaser

Secara ringkas, tugas administratif lainnya oleh Subbid TP  yang terkait pengelolaan tenaga pengajar yaitu

  • mengukur beban kerja tenaga pengajar (widyaiswara), menyusun profil tenaga pengajar
  • menyusun database pengajar, dokumen kinerja dan monitoring risiko
  • menyusun surat keterangan, Surat Rekomendasi Tenaga Pengajar dan SPMK yang diperlukan pengajar
  • mengoordinasikan kebutuhan pembelajaran maupun uji kompetensi widyaiswara
  • Melakukan negosiasi dan kesepakatan tarif dengan pengajar, khususnya pengajar praktisi (output dokumen: referensi tarif dan surat pernyataan tarif

Pengembangan Tenaga Pengajar

Menurut Wexley dan Latham (1991:22-24) terdapat enam elemen yang harus dipenuhi seorang pengajar yaitu (1) pengajar harus mencapai tujuan spesifik pembelajaran; (2) pengajar harus mengajar prinsip dasar pembelajaran orang dewasa; (3) pengajar harus mampu berkomunikasi efektif pada saat pembelajaran; (4) pengajar harus mengajar sesuai dengan materi perencanaan tiap pertemuan pembelajaran; (5) pengajar harus mampu memilih metode terbaik yang akan digunakan; dan (6) pengajar harus mampu memahami peserta secara individual.

Tenaga pengajar yang dilibatkan di program pembelajaran di lingkungan Kementerian Keuangan diharapkan agar memenuhi kriteria sebagaimana disebutkan oleh Wexley dan Latham tersebut. Oleh karena itu tenaga pengajarnya terdiri atas widyaiswara atau pejabat/pegawai yang ada kaitannya dengan materi substantif pembelajaran serta praktisi eksternal yang memenuhi persyaratan sebagai berikut (menurut ketentuan kami ya…):

(1) menguasai materi yang akan diajarkan/memiliki keahlian substantif pada mata pelajaran yang akan diberikan;

(2) mempunyai kemampuan  dan/atau pengalaman mengajar; dan

(3) mendapat persetujuan mengajar dari pimpinan instansi.

Dan untuk memastikan jika tenaga pengajar selalu mengikuti tuntutan perkembangan terkini maka upaya pengembangan mereka harus tetap dilaksanakan. Pengembangan tenaga pengajar sebagaimana pengembangan ASN Kemenkeu lainnya mengacu pada PER-4/PP/2017 yang bisa mengambil bentuk pembelajaran klasikal maupun non klasikal. Bentuk pembelajaran klasikal misalnya

  • pelatihan; baik pelatihan teknis, pelatihan fungsional, maupun pelatihan sosio kultural
  • seminar maupun pertemuan ilmiah lainnya yang sejenis
  • kursus maupun short course skill lainnya
  • penataran maupun kegiatan character building lainnya
  • lokakarya maupun workshop teknis
  • sosialisasi dan community of practice (COP) sharing
  • dan lain-lainnya yang membutuhkan tatap muka kelas antara pemateri dan peserta

Sedangkan bentuk pembelajaran non-klasikal antara lain

  • e-leaming dan pelatihan jarak jauh
  • magang (on the job learning)
  • pertukaran pegawai negeri sipil dengan pegawai swasta atau secondment
  • mentoring
  • coaching
  • keteladanan (job shadowing)
  • observasi
  • consultation
  • Community of Practice (COP) group
  • dll

Sampai di sini dulu ya bahasan kita. Semoga teman-teman saya yang suka nanya bagaimana pengembangan tenaga pengajar dilaksanakan di tempat kerja saya terpuaskan dengan secuil tulisan ini. Saya lanjutkan sharing topik lainnya nanti ya, sesuai dengan FAQ yang teman-teman berikan lewat email. OK cherioo…

Pembelajaran: Jangan Salah Mendefinisikan

pen

Saya mau cerita jika pedoman disain pembelajaran di unit kerja saya, BPPK,  tuh masih belum tepat jadi pedoman penyusunan kurikulum. Ya, saya tegaskan sekali lagi jika PER-4/PP/2017 kurang lengkap dan tepat untuk menjadi pedoman desain pembelajaran di Kementerian Keuangan. Kenapa? Biar gampang saya break down secara runtut saja ya…tolong menyimak pakai konsentrasi biar lebih gampang dicerna. Sama siapkan PER-4 sambil buat dicoret-coret jika perlu.  I am not playing judge here, ini cuma masukan supaya ada move untuk segera memperbaiki pedoman penyusunan kurikulum di BPPK.

OK, pra-anggapan saya yaitu pertama, ada ketentuan yang mismatch secara eksternal dengan peraturan-peraturan lain yang berlaku di Kemenkeu. Kedua, ada ketidaksesuaian secara internal di dalam PER-4/PP/2017 tersebut maupun ketidakjelasan teknis dalam pedoman tersebut.

Saya enlist dulu fakta-fakta yang mempengaruhi pra anggapan saya:

  1. Pada PER-4/PP/2017 Bab I Pasal 1 poin 2: definisi pembelajaran tidak sama dengan definisi pada PMK Nomor 216/PMK.01/2018 tentang Manajemen Pengembangan SDM di Kementerian Keuangan serta PMK Nomor 45/PMK.011/2018 tentang Pedoman Analisis Kebutuhan Pembelajaran.
  2. Pada PER-4/PP/2017 Bab II Pasal 4 menuliskan Bentuk Pembelajaran secara kurang tepat.
  3. Pada PER-4/PP/2017 BAB IV Pasal 13 mengatur tugas dan tanggung jawab menyusun desain pembelajaran secara lengkap oleh Widyaiswara tetapi pada Bab V terdapat unsur yang belum diatur yaitu KNS.
  4. Lampiran dalam PER-4/PP/2017 belum seluruhnya sesuai dengan aturan-aturan maupun petunjuk pengisian dalam pedoman tersebut.

OK ya saya coba analisis satu per satu masalah tadi.

  1. PER-4/PP/2017 Bab I Pasal 1 poin 2 menyederhanakan definisi “pembelajaran Kementerian Keuangan Corporate University” menjadi “pembelajaran” sedangkan keduanya adalah hal yang berbeda. Pembelajaran Corpu mengacu pada competency development secara luas yaitu sebagai organizational learning yang meliputi banyak aspek, sedangkan pembelajaran dalam aturan PMK Nomor 216/PMK.01/2018 dan PMK Nomor 45/PMK.011/2018 pembelajaran mengacu pada pengertian instructional learning yang lebih sempit yaitu terkait pelatihan atau training (dulu disebut ‘diklat’); di mana instructional adalah bagian kecil saja dari competency development. Ini diperkuat dengan Pasal 10 dalam PMK Nomor 216/PMK.01/2018 yang menunjukkan bahwa pengembangan kompetensi dengan desain pembelajaran adalah hal yang berbeda. Desain pengembangan kompetensi memiliki Model 70:20:10 dan ini sangat berbeda dengan desain ‘instruksional’ (dulu disebut “disain kurikulum”) di mana dalam pengertian kedua memiliki porsi 10 saja (sebagai instructional learning atau training) yang harus dibuat berimpact tinggi dengan mengaitkan pada 20 (collaborative learning) dan 70 (workplace learning). Pendefinisian ‘pembelajaran’ yang tepat akan memudahkan perubahan/penambahan komponen-komponen instruksional agar selaras dengan Model Pembelajaran Corpu 70:20:10.
  2. Pada PER-4/PP/2017 Bab II Pasal 4 kata “Bentuk” tidak tepat digunakan karena klasikal dan nonklasikal merupakan “Jalur Pembelajaran”, jadi sebaiknya kata tersebut dihilangkan. Tentunya ini juga dimaksudkan agar selaras dengan ketentuan di PMK 216/PMK.01/2018 yang menyebutkan tentang jalur pembelajaran klasikal dan nonklasikal. Maka pada Pasal 5 dan Pasal 6 di PER-4/PP/2017 perlu ditambahkan kata “Bentuk Pembelajaran”.
  3. Pada PER-4/PP/2017 Pasal 13 tugas pengembangan desain pembelajaran seolah semua menjadi tugas Widyaiswara sedangkan pada mekanismenya (Bab V) desain pembelajaran adalah kerja Tim Penyusun Desain Pembelajaran dan Widyaiswara bertanggung jawab penuh hanya di penyusunan GBPP (Garis-Garis Besar Program Pembelajaran) dan SAP (Satuan Acara Pembelajaran) seperti tertulis di pasal 18, sedangkan pada komponen lain Widyaiswara adalah SGO (Skills Group Owner) terkait pendidikan dan pelatihan. Penyusunan KAP telah terlihat jelas mekanismenya pada Bab V tetapi mekanisme tentang KNS belum ada di Bab V.

Coba disimak Tabel berikut ini, ada beberapa contoh saja hasil analisis ketidaksesuaian penulisan dalam PER-4/PP/2017, dibuat tabel supaya lebih ringkas saja.

No. Hal Analisis
1. Lampiran I halaman 1. Format 1 KAP. No. 5 Penulisan Model Pembelajaran adalah salah. Seharusnya ditulis ‘Bentuk Pembelajaran’.
2. Lampiran I halaman 4. Petunjuk Pengisian Petunjuk Pengisian perlu dibuat lebih jelas. Misalnya pada No. 2 tentang penulisan Tujuan Program harus dijelaskan jika diisi dengan kalimat pernyataan (statement) tentang pemenuhan kebutuhan performansi (learning output) yang diinginkan.

Pada No. 3 tentang Kebutuhan Strategis Unit Pengguna harus dijelaskan jika diisi pemenuhan kebutuhan stategis (learning outcome) yang seperti apa.

Pada No. 4 tentang Sasaran harus dijelaskan jika diisi dengan target peserta secara khusus (specific target learner) misalkan unit tertentu atau jabatan tertentu.

Pada No. 6 tambahkan tentang ‘learning goal’ agar tidak rancu dengan No. 2. Perlu ditambahkan pengunaan kata kerja operasional dengan format ABCD untuk penyeragaman penulisan tujuan di seluruh BPPK.

3. Lampiran I halaman 6.

Petunjuk Pengisian

Pada No. 19 perlu dijelaskan lagi yang dimaksud dengan Kualifikasi Umum adalah syarat administrasi seperti Pendidikan, Pangkat/Gol., serta jabatan.

Pada No. 20 perlu dijelaskan lagi yang dimaksud dengan Kualifikasi Khusus adalah kompetensi khusus pengajar; sertifikasi khusus, dll.

Pada No. 28 kata ‘nomor’ dihilangkan karena redundansi dengan NIP.

4. Lampiran I halaman 11 s.d. 14.

Contoh 1 KAP

Contoh KAP Pelatihan Metode Kajian Penganganggaran masih banyak terdapat kesalahan penyusunan, antara lain:

1.       Penulisan SK dan KD tidak sepenuhnya format ABCD sehingga tujuan tidak memenuhi prinsip SMART

2.       Analisis Instruksional di SK 5 tidak logis

3.       Penulisan Jenis dan Jenjang Program seharusnya tertulis  “Pelatihan Teknis Tingkat Dasar”.

4.       Pengisian Fasilitas hendaknya langsung menuliskan jenis fasilitas yang diberikan (bukan memilih ada/tidak) misalnya 1. Asrama / Hotel standar BPPK  

2. Konsumsi Prasmanan  3. ATK Pelatihan

4. Perpustakaan              5. Laboratorium Praktik dll

5. Lampiran I halaman 19

Contoh 2 KAP

Kesalahan penulisan Persyaratan Peserta yaitu syarat kompetensi seharusnya dikosongkan, karena Pendidikan termasuk syarat administrasi dan jenjang pelatihan adalah tingkat dasar maka tidak ada entry behavior.
6. Lampiran II halaman 3.

Petunjuk Pengisian

Pada no. 14 dan 15 perlu diatur ketentuan waktu apakah berupa jamlat (JP) atau satuan menit agar terdapat keseragaman.

Pada No. 16 ditambahkan acuan ketentuan penulisan referensi untuk penyeragaman. (Harvard style/APA style/ Ketentuan Penulisan KTI dll)

Dan masih banyak lagi kesalahan/ketidaksesuaian yang dicantumkan dalam PER-4/PP/2017 yang umumnya meliputi:

  • Ketidakcermatan pengisian Deskripsi Program yang meliputi Tujuan Program, Kebutuhan Strategis Unit Pengguna yang akan Dicapai, dan Sasaran (Target Learners). Saya nanti akan buat tulisan khusus tentang cara merumuskan dan menyusun KAP ya, you just wait there. 
  • Penulisan Tujuan Perfomansi, Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar  dalam contoh di Lampiran Peraturan tidak memenuhi kriteria ABCD. Tujuan kan harus SMART ya, model penulisan ABCD itu sangat memenuhi unsur specific, measurable, achievable, realistic dan timely. Semua contoh tidak ada condition dan degree, so bagaimana kita bisa mengukur evaluasinya tanpa ada batasan dalam tujuan yang kita buat?
  • Penggunaan kata kerja yang tidak operasional pada tujuan performansi. Ini yang paling menggemaskan, karena saya rasa semua orang BPPK paham itu taksonomi Bloom dan paham daftar KKO atau action verbs yang lazim dipakai. Jangan gunakan kata kerja yang tidak bisa ukur pencapaian keberhasilannya secara spesifik, misalnya kata “memahami”, “menghayati”, “menginternalisasi”, duuh nanti mengukur ketercapaiannya seperti apa ya? Can you figure it out? Susah kan? 
  • Keruntutan dan kelogisan analisis instruksional dari SK menjadi KD. Saya perlu sharing lagi nih cara Dick and Carey menyusun tujuan pembelajaran. Just wait.
  • Penulisan persyaratan peserta dan kualifikasi pengajar tidak seragam. Harusnya PER mengatur penyeragaman cara menuliskan specific target learners seperti apa, dan leveling pelatihan harus dijelaskan mana yang perlu prasyarat entry behavior. Sama halnya dengan persyaratan mengajar, atur agar kita bisa bedakan antara syarat administrasi dengan persyaratan kompetensi.
  • Contoh KAP e-Learning yang diberikan tidak sama dengan format pedoman, which is so misleading kalau pegawai yang kurang paham malah mengambil dan meniru contoh yang nocontoh alias salah.
  • Satuan estimasi waktu dalam GBPP yang tidak seragam, ada yang dengan JP ada dengan Menit. So, gunanya peraturan ya harus menstate sampai detail ukuran satuan waktu yang mau dipakai.
  • Tidak mencantumkan format KNS (Kerangka Naskah Soal) yang merupakan bagian dari kurikulum. So, how are you gonna plan the evaluation kalau KNS saja tidak ada contohnya?

So far itu saja yang bisa saya ulas, dan simpulan saya:

  1. PER-4 /PP/2017 disusun dengan kurang teliti dan terkesan terburu-buru diterbitkan mengingat ketentuan tentang Manajemen Pengembangan SDM dan AKP baru diterbitkan di tahun 2018. Ini yang menjadi faktor mismacth dengan PMK Nomor 216/PMK.01/2018 maupun PMK Nomor 45/PMK.011/2018.
  2. Perlu redefinisi “pembelajaran’ dengan jelas dalam PER-4 /PP/2017. Bedakan jelas antara organization learning, development, dan training.
  3. Perlu revisi ketentuan dan Lampiran Contoh yang benar dalam PER-4/PP/2017.

Saran saya sih BPPK perlu segera membentuk tim penyusun revisi atas PER-4/PP/2017. Kalau perlu pakai konsultan pendidikan khusus buat ngajarin para struktural di sini. Lalu BPPK perlu menyosialisasikan konsep Corporate University secara lebih jelas lagi, sepertinya tidak semua pegawai paham dengan pembelajaran corporate university, padahal dulu sudah ada program Microlearning Pengenalan Kemenkeu CorpU di KLC. Berarti course itu ngga ngefek? Wallahu A’lam…

Souvenir n Giveaway

Barusan capek berat sehabis mengajar Tata Naskah Dinas 3 hari di BDK Medan. Baru berulang lagi now (setelah sekian tahun enggak) saya ngajar sambil meriang badan dan gatel tenggorokan, suoro pol. Tapi demi tugas negara yo wis lah gapapa suara serak2. Seneng sih di Medan ketemu teman lama lagi, apalagi bu Plt. Kepala Balai sangat antusias ngajakin wiskul ke sana ke mari. Diet rusak pokoknya hahahaa…for the sake of old times kita nongkrong di mana2 sambil cerita2 masa2 lalu di KU… wistalaa…makan kok berasa enak yaa (ngga bayar soalnya hahaa) padahal susaah buat nelan tapi tak hajar bleh. Flu berat dilanjutkan di Jakarta sampai dengan tiga hari berikutnya karena banyak deadline yang mesti keep up sampai dibelain begadang. Naseeb.

But overall, saya puas ngajar TND kemarin, tapi saya nolak2 untuk dijadwal lagi ngajar angkatan berikutnya di bulan September di Medan lagi. Waay to extreme cuacanya pas saya ke sana, takut sakit lagi. Wis tuwek akuh. Oya peserta kemarin masih seumuran anakku ya…paling tua umur 23an…duuh aku berasa kayak yangti2 😀 😀

Oya mau cerita tentang bagi2 suvenir di kelas. Itu sih udah kebiasaan saya kalo mengajar pasti ada yang mau saya share ke peserta terbaik saya…entah itu coklat atau gantungan kunci. As a token of my appreciation for their active participation, that’s all.

Naah kalo saya khasnya ya ngasih gantungan kunci ya, karena emang itu oleh2 termurah jika lagi visiting a city or a country. Saya suka ngasih kenang2an yang akan terus diingat peserta dan yang penting ngga bikin saya bangkrut hehee, just for building rapport with them sih saya anjurkan pengajar orang dewasa perlu lakukan itu. As I said before saya kan kolektor suvenir, naah gankun saya udah ratusan kali banyak numpuk di laci. Karena tahun ini lagi nggak banyak kelas, masih banyak lah yang belum saya bagi. Kemarin dari Medan jadi nambah lagi beli gankun selusin di depan Istana Maiumun, deuh nggak kapok2 saya ini numpukin barang. 😀 Saya biasanya persilakan peserta milih sendiri hadiahnya, rata2 peserta saya suka yang dari Korea, Belanda, Singapura, Balikpapan sama Bali. Oya ada beberapa magnet juga sih di dompet suvenir saya,peserta cewek lebih suka magnet daripada gakun. Apa karena mereka suka ditempelin? (oposeeh ngawuur hahaa)
Ada satu peserta dari Tamiang Aceh nanya saya, Bu Efi ngga rugi ngasih hadiah kita? Hehee itu oleh2 murmer saay…yang mahal cuma ongkos buat belinya. Tapi berhubung saya kalo pergi2 mostly abidin, so nggak ada yang mahal buat saya (snob mode:)hihihii…nyenengin orang kan berpahala atuh 🙂 🙂 🙂

Kalo peserta diklat lagi beruntung, saya bisa juga kasih giveaway yang lebih mahal: buku. Yaass….kalo Anda pernah dapat hadiah buku dari saya, you are among the selected people gaes…coz saya lagi kumat baek tuh hihii. Coz saya lagi mau berbagi buku koleksi lama macam komik2 sama buku motivasi atau mau share buku saya terbaru yang mau dipublish atau naik cetak kesekian kalinya.

Penasaran kaaan kayak apa gantungan kunci saya? Sok atuh main ke lantai 5 di Pusdiklat Keuangan Umum Pancoran. Kalo mampir di kubikel saya, boleh milih yang saya gantung di dinding saya sekalipun… they are from many countries in the world. Tak kasih intip yang di salah satu dinding saya ya…biar penasaran. Di laci saya masih banyak tuh yang dari Jepang, Australia, Belgia, Belanda, Korea, Pekanbaru, Malang, Bali dll. Dipilih dipilih lek mampir…
Eh…itu ruangan widyaiswara apa toko suvenir yak? 😀 😀
IMG20190830153353

Butuh Penjiwaan

penjiwaan
Habis rapat dengan bu Kapus di Lantai 2. Kami dibacakan rapor kinerja kami sampai satu semester ini satu per satu. Kata teman saya, ini kita lagi dieksekusi ya he..hee…
Saya melihatnya ibu Kapus itu lagi nembakin para widyaiswara utama yang rata-rata evaluasi mengajarnya di bawah 4,3 (dari max 5,0), menggali kenapa kok bisa dapat nilai di bawah ekspetasi peserta pelatihan. Dan, one by one teman2 yang disasar diminta menjelaskan alasannya, which is ngga enak banget saya mendengarnya…kasihan juga kalo mereka rata2 cerita excuses mereka langsung disanggah atau diledekin oleh ibu Kapus.
Well, saya ngga bermaksud membela teman-teman saya (sebagian ada juga yang ngeselin sih, mengajar dikit, ngerjain ISD juga ngga, bikin e-Learning juga kagak, penelitian ngga kelar2 pulak, harusnya fokus mengajarnya lebih bagus dong…). Just wanna say that mengajar di kelas itu ngga gampang…kalau evaluasi pengajar hanya didasarkan evaluasi dari peserta ya ngenesin saja buat pengajar.
Tell you what, I’ve been teaching for more than 23 years I guess…nah baru tahun ini saya juga merasa struggling banget buat winning my trainees’ heart. Ngajar milenials , zillenials apalagi, serasa frekuensi kita kadang kurang nyambung in some parts. Rasanya kok saya kurang penjiwaan jika diminta mengajar kelas-kelas orientasi atau kelas dasar dengan peserta rata2 fresh grads kampus.
Mengajar itu butuh penjiwaan buat saya. Saya merasa menjiwai kelas saya dengan tiga syarat:
1. penguasaan materi. Kalau tidak punya kompetensi teknis di suatu pelatihan mending nggak mengajar aja. Ngga akan punya PD kalau harus elaborasi apalagi menjawab pertanyaan2 di kelas. Saya mending mengajar seratus General English classes daripada kelas TND. Kemarin saya mengajar TND di Denpasar (selain buat modul TND) buat saya hanya sebagai action learning saya sebagai mantan peserta Pelatihan TND. Alhamdulillah sih kelas went so well, evaluasi masih di atas 4,7 tapi dalam hati nangis loh…kenapa ngajarnya full of dag dig dug takut salah nerangin ke peserta hehehee…
2. mood atau emosi yang baik. Empat bulan pertama di tahun 2019 ini adalah tahun yang menguras emosi dan jiwa dalam mengajar. Saya harus bisa perform di kelas as if nothing happens padahal saya habis nangis karena ibu saya di rawat di RS coz sakit kanker. Sewakttu mengajar Business English saya malah kurang persiapan karena barusan landing dari Malang tanpa proper preparation dan mata panda karena begadang semalaman di RS. I was lucky I didn’t get difficult participants…jadi evaluasi mengajar masih lumayan bagus. So really, kalau bukan karena sudah kawakan (baca: tua 😀 )saya ngga akan bisa memanipulasi emosi saya di kelas: pura-pura happy pas ngajar padahal hati nangis dan sedih. I feel like I can fake my smile but not my eyes…
3. building rapport yang bagus. Kita bisa membina hubungan yang baik dengan peserta tentu juga karena kita punya confidence seperti di atas sih menurut saya. Nah tadi saya bilang struggling with milenials itu bener adanya, coz saya kurang bisa memosisikan diri sebagai fun buddy, soalnya deep inside sudah ngerasa tua duluan haha… Etapi bener deh kalo saya sok gaul pun mereka pun strange look aja ke saya (kayaknya sih…), padahal saya cuma bermaksud ngga sok jaim ke mereka sih ….mbuh lah.

And so what? Yo wis ben lah…mending ngerjain e-Learning aja dulu sekarang. Kayaknya saya cucoknya cuman di belakang layar aja bikin-bikin kelas online buat KLC.

Presentasi Zen: Ngajar Diklat Pertama di 2015

Waah sudah hampir setahun nggak update blog ini 😉 he he he… Kemarin hari Rabu 22 Januari 2015 mengajar diklat di Pusdiklat Keuangan Umum untuk yang pertama untuk Diklat Manajemen Diklat, kebagian mengajar Mata Pelajaran Penyelenggaraan Diklat. Kali ini peserta diklatnya spesial….Widyaiswara baru angkatan 2014. Sebenarnya diklat ini ditujukan untuk para pegawai yang akan bekerja di Badan Diklat…tapi spertinya menurut AJF di Setban sana WI dianggap pegawai baru yang harus diberi orientasi tentang fungsi-fungsi dan proses bisnis dalam pelaksanaan diklat. Sewaktu rapat persiapan penyelenggaraan saya sebagai Wali Program sudah mengatakan bahwa kami tidak akan mengubah kurikulum, kami hanya akan menambahkan konten dalam bahan ajar yang sesuai dengan calon peserta yaitu widyaiswara.
Agak bingung juga awalnya karena saya dapat 8 jamlat untuk memberikan materi Penyelenggaraan Diklat. Oya, lucunya calon peserta malah ada yang memang pengajar materi itu, jadi saya malah memanfaatkan beliau untuk sharing pengalaman beliau dalam melaksanakan tugas-tugas di Subbid Penyelenggaraan I. Balik lagi ke materi, bagi saya menceritakan bisnis proses di bidang Penyelenggaraan Diklat buat saya cukup hanya satu jamlat. Saya siapkan bahan ajar tentang itu selengkap mungkin. Nah, karena peserta saya semua adalah pengajar, maka saya tambahkan materi tentang manajemen kelas. (Nanti akan saya share bahan mengajar saya itu lain waktu.) Isinya ada tentang building rapport, handling questions, pendekatan mengajar, serta tips menggunakan Presentasi Zen. Nah sharing tentang Presentasi Zen ini yang saya beri porsi yang lebih banyak dengan harapan agar bermanfaat buat mereka dalam mengajar. Presentasi Zen itu saya pelajari kilat saja dalam 5 hari dengan membaca bukunya (yang mau e-booknya sila email saya) dan ketika saya menyajikan materi di kelas dengan menggunakan slide Presentasi Zen. Oya, peserta saya sangat antusias dengan materi terakhir ini, dan di sesi praktek mereka membuat bahan tayangan mengenai penyelenggaraan diklat dalam 5 kelompok dengan gaya Zen serta mempresentasikannya dengan style Zen.

courtesy of fastcodesign.com

courtesy of fastcodesign.com

Apa itu Presentasi Zen? Itu sebenranya presentasi powerpoint juga tapi dengan spesial tips dari Garr Reynold, pakar desain slide presentasi kelas dunia. Seorang Profesor Manajemen dan Desain di Kansai Gaidai University, beristrikan orang Jepang. Rupanya dia terinspirasi banyak dengan filosofi Jepang, dan contoh-contoh dia banyak mengambil dari budaya Jepang. Ada banyak pengertian tentang Zen, namun secara singkat Zen itu adalah filosofi tentang kesederhanaan (simplicity) dan fokus (focus). Zen mengajarkan tentang fokus pada kesederhanaan, yaitu berfokus pada hal-hal yang penting dan meninggalkan hal-hal yang tidak penting.

Bagaimana cara agar bisa membuat presentasi yang professional seperti Presentasi Zen? Tahap persiapan pertama adalah be creative: thinking out of box, tinggalkan zona nyaman dengan kebiasaan membuat slide presentasi seperti yang sering kita buat. Untuk itu kita perlu berpikir seperti seorang beginner, yang mau belajar apa saja dan tentunya kita perlu melepaskan diri dari batasan-batasan yang membuat kita kurang kreatif. Kedua, keep as simple as possible. Menurut Garr Reynolds, less itu sebenarnya more: sedikit itu malah berarti lebih. Oleh karena itu, prinsip ketiga adalah, jangan pikirkan apa yang bisa ditambahkan dalam setiap slide, tapi pikirkan apa yang bisa dikurangi.Think to “subtract”, not to”add” Sehingga, prinsip berikutnya, jadikan dalam setiap slide hanya ada satu esensi yang bermakna. Jangan buat desain slide presentasi bak mendekorasi ruang pesta ulang tahun anak2 karena desain tidak sama dengan dekorasi .
So, untuk mencapai kebermaknaan, disamping pemilihan kata yang sedikit sensasional, juga harus ditunjang dengan visual yang relevan karena slide presentasi harusnya lebih visual daripada hanya sekedar kumpulan kata-kata saja. Ketika menggunakan visual khususnya gambar dalam setiap slide, perhatikan ruang kosong. Sisakan ruang kosong, jangan isi semua ruang kosong dengan teks, gambar, grafik, animasi yang tidak perlu. Nah, dalam perencanaan sebaiknya kita planning analog dulu, jangan langsung going digital pakai komputer supaya proses kreatif tidak terganggu. Kita bisa pakai brainstorm, clustering, lalu membuat storyboard . Why? Coz nanti slide pertama sampai slide terakhir kita akan seperti bercerita yang mengalir mulai dari pendahuluan, permasalahan, klimaks sampai resolusi dan kesimpulan. Terakhir, dalam Zen delivery ada tips yang saya singkat dengan SUCCESS: simple, unexpectedness, concreteness, credibility, emotion, dan story. Untuk lebih jelasnya ceritanya lain kali saja yah…saya lagi too excited karena mengajar kemarin sukses buat saya, meskipun ada sedikit kekurangan: saya mengajarnya suka keracunan bahasa, campur aduk bahasa Jawa, Indonesia, Inggris hahaha…sama suka nyuruh peserta cepet2 karena takut wakktunya molor dari jadwal. Saya nggak takut or grogi jika diminta mengajar materi ini lagi 😀

buku keren

buku keren

Being Likeable People

I have a colleague, let’s call him Mr. X, who seems to be everyone’s disaster. Mr. X never makes a healthy environment at work in the sense that he makes everyone stressful and looses threshold of tolerance. Mr. X is our mutual enemy. Well, bad guys can be found anywhere, even at the workplace. But, have you ever wondered how some people don’t have an enemy in the whole world? Have you also noticed that most people are drawn to them right from the start?

Likeable people seem to bear charmed lives. People are always willing to give them a hand. All they have to do is ask and whatever they want falls into their laps. While most of us, like the rest of humanity, struggle against the odds, these people seem to sail through life and the work place without a scratch. Why do they have it so good?

It is true that unpleasant people also succeed. Unpopular people also make the grade, but the category of people who are liked by everybody have better batting averages. Should this be surprising? If you were given the task of selecting from two candidates with equal abilities, would you not pick the one who is more pleasant and liked by all?

They are nice people

They are nice people

Likeable people do not get to be that way by chance. There are two main reasons that I will elaborate in this article.

First, they work at being likeable. These are things likeable people do in their life, as modified from wikiHow:

  1. being respectful to everyone

For sure likeable people have self-respect and therefore they are also respectful to everyone they meet. They are never judgmental and dismissive to anybody, making everyone feel welcomed. In return, everyone appreciates and gets along well with these people.

  1. being polite to everyone

Not everyone can interact nicely with strangers, but likeable people do it so easily because they are not rude. They always ask for favors patiently, respond to others promptly, and always remember to say please and thank you.

  1. initiating random acts of kindness

Likeable people do things for other people, even if they don’t know those people. They are willing to do selfless thing like pressing the lift button for others, holding a door when going in or out of a building, picking something up for a stranger when he drops it, offering to take a picture for others who are trying to take one, and many more.

  1. being honest

While being honest, likeable people do it gently. That is why other people never hesitate to ask for advice from them. They are sincere and never fake their attention. They are also very careful in giving truthful comment so that others won’t feel upset or hurt by the truth.

  1. keeping the promise

Likeable people can follow through on all their commitments because they make full efforts to fulfill their promises. They also communicate their progress to keep their friends and co-workers in the loop about it.

  1. thinking of own strengths and explore opportunities to show them

Likeable people know what talent or trait that others admire in them. I have a colleague who’s good at filing and she volunteers to show me how to file my archives for DUPAK in a better way. Another friend who is a good singer once got up on our office gathering night and sang several songs to entertain us. And there is also a colleague of mine who is a computer expert that frequently helps and mentors me how to handle my Mac. I always admire those guys!

  1. always smiling

This simple gesture is likeable people’s mark. Their smiles always improve the mood of everyone around them, triggering the feeling of lightheartedness and happiness. By the way, their smiles are genuine, perhaps because they have happy thoughts or positive feelings.

 

 

The second reason and above all for likeable people to charm everyone: they are never confrontational. After a while, being nice becomes second nature to them. This way likeable people let their personalities shine and they earn others’ admiration. In contrast to this, the obnoxious person like Mr. X holds on to his inflated ego and when asked to do a favor, chants his mantra: “Why should I?” My poor colleague, he should know that a person who likes to make others uncomfortable with his actions will earn grudge and others’ negative feelings.

 

Knowing the two reasons above, is it any wonder then that likeable people succeed in career and life more often than most? By the way, Mr. X is not in good career advancement; I think he reaps what he has sown.

 

In sum, be likeable: pleasant, polite, respectful, go out of the way to be helpful, and never be confrontational. You will enjoy a better reputation that can strengthen networking, socializing, and career development.

 

***