Learning Agility: Sudahkah Anda Miliki?

Abstraksi

Di masa yang penuh ketidakpastian seperti pandemi Covid-19 saat ini diperlukan suatu learning agility. Learning agility dapat diidentifikasi dengan speed dan flexibility (DeRue) dan ditambahkan lagi dua komponennya oleh Burke yaitu experimenting, performance risk-taking, interpersonal risk-taking, collaborating, information gathering, feedback seeking, reflecting. Organisasi perlu memberikan kesempatan bagi pegawai agar menjadi agile learners melalui para pimpinan dengan mengubah budaya yang pro status quo serta memberikan tantangan-tantangan baru bagi pegawai.

Kata kunci:  learning agility, agile learners, speed, flexibility, experimenting, performance risk-taking, interpersonal risk-taking, collaborating, information gathering, feedback seeking, reflecting 

Dalam menjalani WFH di masa pandemi Covid-19 ini, seringkali kita menghadapi situasi dan tantangan baru dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi lalu kita mencari tahu jalan keluarnya sendiri. Kita benar-benar belum pernah melakukan pekerjaan itu sebelumnya, sehingga peluang suksesnya hanya 50:50. Dalam keadaan itu, sebenarnya learning agility telah terjadi.

Apakah learning agility itu? Peneliti Scott DeRue dari University of Michigan mengembangkan model yang mengidentifikasi kecepatan (speed) dan fleksibilitas (flexibility) sebagai dua faktor terpenting yang menentukan learning agility. Learning agility adalah ketangkasan belajar, tentang kemampuan untuk mencerna sejumlah besar informasi dengan cepat (speed) dan mencari tahu mana yang paling penting. DeRue juga mengatakan seseorang harus dapat mengubah kerangka kerjanya (fleksibilitas) yang membantunya untuk memahami bagaimana hal-hal yang berbeda saling terkait atau terhubung. Dengan kata lain, fleksibilitas adalah kemampuan untuk mengubah framework yang diperlukan untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi.

DeRue juga membuat perbedaan antara learning agility dan learning ability atau kemampuan belajar. “Kemampuan” berarti kemampuan kognitif atau “kecerdasan.” Kemampuan itu penting, tetapi menjadi lebih pintar belum tentu lebih baik. Manakala menghadapi situasi yang asing, tidak tahu apa yang harus dilakukan lalu kemudian berusaha mencari tahu, kelincahan dan ketangkasan semacam inilah yang lebih penting.

DeRue menambahkan ada komponen kognitif dan behavioral untuk learning agility. Komponen kognitif adalah ‘the hard wiring” alias yang sulit atau tidak mungkin berubah. Sedangkan komponen behavioral atau perilaku dapat dipelajari, karena jika seseorang melakukan hal-hal yang ditunjukkan dengan perilaku, maka dia telah menunjukkan sebagian dari learning agility.

Peneliti lainnnya yaitu Dr. Warner Burke dari Columbia University menemukan sembilan dimensi dari learning agility, yaitu flexibility (terbuka pada ide dan solusi baru), speed (bertindak cepat), experimenting (mencoba perilaku-perilaku baru), performance risk-taking (mengambil tantangan-tantangan baru), interpersonal risk-taking (mendiskusikan perbedaan pendapat), collaborating (bekerja sama) , information gathering, (mengumpulkan informasi)  feedback seeking (mencari umpan balik) serta reflecting (melakukan refleksi). Burke juga mengembangkan tes untuk mengukur learning agility, dan instrumentnya valid dan reliabel dibuktikan dengan banyaknya penelitian yang menggunakannya selama ini.

 Supaya bisa mengambil keputusan yang tepat di saat mengalami unfamiliar situasions seperti masa pandemi Covid-19 ini, kita perlu menjadi seorang agile learner. Memang tidak semua orang terlahir menjadi agile learner, tetapi learning agility bisa dipelajari dengan sebelumnya kita melakukan asesmen untuk mengetahui di area mana yang perlu ditingkatkan kompetensinya. Saat ini sudah banyak L&D vendor yang bisa melakukan pengukuran learning agility dengan menggunakan instrumen yang handal.

Tiga dimensi utama dalam learning agility  yang sangat membutuhkan keterbukaan terhadap membuat kesalahan adalah information gathering, feedback seeking dan reflecting. Kita sering merasa malu dan tabu menceritakan kesalahan yang kita buat, sudah alamiah jika pegawai akan defensif jika ada perencanaan yang gagal atau sesuatu tidak dapat diimplementasikan. Faktanya, jarang orang bisa menyelesaikan tugas yang pertama kali dilakukan dengan sangat sempurna. Kalau seorang bertipe agile learner, dia malah bersorak jika diberikan tantangan baru, merasa nyaman dengan risiko termasuk juga kemungkinan untuk membuat kesalahan. Agile learner gagal sebentar saja, karena dia belajar cepat untuk melakukan yang lebih baik ke depannya. Oleh karena itu agile learner perlu didukung lingkungan yang juga mengangggap kesalahan adalah learning opportunities, suatu peluang belajar, bukan yang mendiskreditkan dan menyalahkan pembuat kesalahan. Lingkungan yang kondusif itu akan memberikan social recognition bagi pegawai yang mau belajar dari kesalahan, karena risk-taking yang berubah menjadi learning itu justru diapresiasi.

Tentunya ada perubahan budaya yang dibutuhkan. Agile learner sangat berani menantang status-quo, dia mengambil risiko interpersonal untuk memiliki pendapat yang berbeda dengan lainnya. Dengan orang berbeda pendapat mereka tidak akan serta merta menerimanya, tetapi dievaluasi, dicari inkonsistensinya, ditanyakan masalahnya serta dimintakan sarannya sampai dia sepenuhnya paham dengan suatu pandangan tertentu. Orang tipe pemberontak begini tidak mudah ditemukan di tiap unit organisasi karena pegawai pasti memikirkan posisi dan status dia jika harus berseberangan pendapat dengan orang lain terutama atasan. Tidak ada satu orang pun yang mau menentang atasan.  Pimpinan bisa bermain cantik dengan cara mengubah budaya di tempat kerja dengan secara aktif men-challenge tim kerja untuk bertanya, berbagi ide dan saran serta menawarkan alternatif-alternatif solusi. Ketika pegawai menyuarakan pendapatnya, mengusulkan solusi bahkan akhirnya membuat tim menjadi sukses dalam pelaksanaan tugas, berilah penghargaan. Ini akan menjadi dorongan supaya mereka akan berperilaku agile lagi di masa mendatang.

Untuk menjadi agile learner sejati, pegawai perlu dibuat merasa nyaman dengan situasi yang kurang familiar buat dia. Mereka harus merasa OK dengan merasa tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi itu. Mereka harus merasa tenang, percaya diri dan mampu berpikir logis dalam memecahkan masalah. Harus ada pergeseran pemikiran bahwa ketidakpastian itu menggembirakan, bukan hal yang menakutkan. Cara terbaiknya adalah membiarkan pegawai mendalami pekerjaan yang belum pernah dia kerjakan sebelumnya, ceburkan dia di lautan dalam nan ganas dan biarkan mereka mencari tahu sendiri bagaimana cara supaya tetap terapung di permukaan laut. Contoh implementasinya misalnya diikutkan di pelatihan ataupun proyek yang terintegrasi dengan job shadowing, job rotation, serta penugasan sementara. Biarkan pegawai itu menangani tantangan baru tersebut selama beberapa waktu. Setelah itu berikan jaket penyelamat, misalnya mentoring, kursus online yang bisa diikuti, atau bantuan praktisi dll sehingga mereka bisa mengembangkan lagi pendekatan yang sistematis, rasional dan logis dalam pemecahan masalah mereka. Dengan cara ini , pegawai mendapatkan keterampilan menangani uncertainty secara nyata.

Adanya delayering di lingkungan Kementerian Keuangan bisa dipastikan membuat pegawai yang terkena pemangkasan jabatan harus menghadapi perubahan dalam karirnya dan learning agility sangat berperan menentukan seberapa cepat dan kuat mereka menghadapi tantangan baru. Jika pegawai yang beralih jabatan melakukan fast learning dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis, mengembangkan berbagai solusi dengan bereksperimen, selalu bekerja sama, tetap produktif dan selalu mawas diri , serta siap mendapatkan masukan dari orang lain, mereka akan selalu tetap kompeten di tugas yang diembannya.

Contoh lain yang bisa kita rasakan dengan adanya learning agility di BPPK yaitu semakin banyaknya kelas e-learning dan kelas PJJ yang diluncurkan di Kemenkeu Learning Center maupun konten knowledge capture di segala media sosial milik BPPK. Semua pihak baik struktural maupun fungsional bahu-membahu menyediakan layanan belajar online sebagai solusi kondisi pandemi Covid-19 yang menyebabkan peserta tidak lagi bisa belajar melalui bentuk klasikal. Semua layanan tersebut tentu melibatkan experimenting, performance risk-taking, interpersonal risk-taking, collaborating, information gathering, feedback seeking, serta reflecting baik dari sisi perencanaan, disain dan pengembangan, implementasi dan evaluasi pelaksanaannya. Secara umum ada learning agility di BPPK dan di Kementerian Keuangan tentunya, karena sebagian besar pegawai memanfaatkan waktu WFH-nya untuk belajar, menambah pengetahuannya, melakukan tugas-tugasnya serta melakukan pengembangan diri lainnya meskipun tanpa harus meninggalkan rumah. Apakah ada learning agility di setiap diri pegawai Kementerian Keuangan? Ini yang perlu evaluasi mandiri.

Jika masih ada pegawai yang masih mengaku tidak kompeten dalam tugasnya, tidak bisa berkembang, tidak mampu beradaptasi, serta tidak mau berubah proses kerjanya maupun penguasaan teknologinya, bisa dipastikan dia belum punya learning agility. Learning agility adalah kunci mengatasi ketidakkompetenan pegawai, supaya pegawai punya kemampuan untuk memproses dengan cepat dan  menyatukan potongan informasi yang beragam dari masalah yang dihadapinya lalu mencari jalan keluarnya segera. Organisasi dan para pimpinan harus punya andil dalam memunculkan pegawai yang memiliki learning agility, misalnya dengan memberikan penugasan yang menantang. Selain itu secara individual kita perlu mengases diri kita sejauh mana kita memiliki learning agility itu, karena jika tidak mau punya learning agility, maka benar apa yang diprediksikan oleh penulis Amerika Alvin Toffler pada tahun 1970 yang mengatakan bahwa “the illiterate of the 21st century and beyond will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn”.

Referensi

Hallenbeck, George (2016). Learning Agility: Unlock the Lessons of Experience. Amazon: Center For Creative Leadership.

Dimuat di Majalah Media Edukasi Keuangan Edisi 58/2020

New Teaching

Menjelang akhir 2020 dan tinggal 1 kelas Orientasi CPNS saja untuk diajar, saya jadi semakin merasa bahwa gaji dan TKPKN saya ketinggian buat saya jika saya nggak terus update dan melakukan pengembangan diri. Sekarang murid dan trainee saya 60%nya adalah milenial, dan mau nggak mau saya harus ikuti cara belajar mereka jika saya masih ingin tetap jadi fasilitator. Ini jadi seperti flashback tahun 2005 ketika saya pertama kali jadi widyaiswara. Kami semua banyak yang sangat aspiring dan menggebu2 untuk jadi WI, kemudian kami diajarin oleh para WI senior LAN yang cara mengajarnya masih jadul (masak masih ada yang pakai OHP padahal kita semua waktu tes micro teachingnya saja sudah pakai PPT), bagaimana tidak nyesek. Kredibilitas para pengajar di mata kami jadi jeblok dan kami di kelas hanya duduk pasif saja untuk menghargai pengajar senior, sambil diam2 saling menertawakan. Kacau kan, peserta sibuk sms-an daripada menyimak pengajar. Saya tidak mau hal seperti itu terjadi sama saya, saya inginnya kalau punya kelas semua peserta saya akan engaging dengan skenario belajar yang saya berikan, termasuk memberikan masukan buat saya kalau misalnya ada hal yang bisa diberikan untuk perbaikan. Asal cara menyampaikannya santun, siapa sih yang malah nggak berterima kasih?

Saya banyak ikut webinar dan sesi diskusi dengan trainers di seluruh dunia akhir2 ini, just to investigate and probably to copy the way they handle their sessions. Apalagi jaman virtual class gini, kalau nggak sering ngikut bakal cepat ketinggalan. Tentunya yang dibutuhkan juga keberanian buat mencoba ya di kelas kita sendiri. Alhamdulillah sudah sering pakai Zoom & Google Meet dari tahun lalu, serta Kahoot dan Quizizz 3 tahun ini buat mengevaluasi dan games peserta, jadi gampang kalau pakai alternatif lain macam mentimeter, powerpoint (saya pakai I-Spring presenter jadi bisa macam2 jenis quiznya), Quizlet Live, dan Google slides. Tapi yang jelas, mainan macam begitu cuma buat selingan saja sih menurut saya, yang paling utama ya kita harus tetap update ilmu substantifnya.

Ini challenge utama buat saya. Karena saya yang sudah 15 tahun spesialisasi mengajar TOEFL, 5 tahun lalu dipaksa berhenti mengajar itu karena diklatnya sudah distop oleh pejabat di masa itu. Akhirnya saya banting steer mengajar manajemen kediklatan, mostly coz saya nggak bisa mengajar materi lainnya di Pusdiklat. Jadilah saya mengajar perencanaan diklat, kurikulum design, dan sejenisnya. Ada bagusnya sih saya jadi terus belajar tentang disain pembelajaran e-learning serta pembelajaran 702010, serta evaluasi pembelajaran. Pengetahuan tentang corporate university saya meningkat pesat juga, alhamdulillah. Bahasa Inggris saya nih yang agak mundur, karena saya hanya sesekali mengajar EFCO untuk pegawai Bea Cukai dan Business English saja. I’m just feeling like why is it soo slow for me to learn something new? Tanda-tanda penuaan nih 😀 😀

But I’ll never give, biarpun progress saya slow tapi tiap hari saya harus bisa nambah pengetahuan saya. I’ll keep on going no matter what. Saya harus bisa survive di era pengajaran baru ini, biar enak nelen keringat saya hehehee….biidznillah please Allah help me through all challenges I face, aamiin.

Reflection on My TOT Class

I’ve done with the class two weeks ago and now it’s time to unlearn and relearn. I’ve learnt that kelas TOT bisa dilakukan secara online, tentunya dengan desain pembelajaran yang sangat teliti sesuai dengan harapan DJKN sebagai user saya. Pelatihan saya sebenarnya tujuan utamanya adalah membekali peserta dengan keterampilan mengajar, tetapi sebagian peserta akan menjadi penyaji paper internasional. Jadi learning output-nya adalah kemampuan presentasi peserta dalam bahasa Inggris, sedangkan micro teaching akan menjadi learning outcome mereka, I mean jika peserta terus mengasah dan mencoba kemampuan mengajar mereka terus-menerus pasti mereka akan semakin PD dalam mengajar di kelas internasional mereka.

Tell you what, tidak semua peserta yang dikirim ke TOT kami itu benar ideal seperti yang disampaikan unit, karena entry behavior untuk TOT ini kan mereka harus sudah bisa menggunakan bahasa Inggris secara aktif, tetapi ternyata ada banyak juga peserta yang nggak fluent atau fluent tapi nggak akurat blas alias banyak mispronunciation dan salah grammar. Tapi gak masalalah saya ingatkan saja mereka untuk terus balancing their English input dan output tiap hari kalau mau improve their English.

Yang ingin saya highlight di sini adalah untuk skill semacam presentation itu setiap peserta harus praktik secara individual. Alhamdulillah saya dibantu Ms. Wina untuk memandu sesi praktik di breakout room, sehingga masing-masing peserta dapat kesempatan untuk praktik individual meskipun dalam kelas virtual, dan langsung mereka dapat immediate feedback untuk perbaikan. Jadi ingatlah untuk skenario pembelajaran skills tetap harus kita rencanakan praktif, baik itu mandiri, dalam small group, secara synchronous maupun asynchronous (tentunya yang langsung akan lebih baik).

Kemudian terkait asignment peserta, saya hanya meminta mereka membuat reflection journal setiap hari, apa pun itu bentuknya, dengan maksud tugas bisa diselesaikan sesuai kesukaan atau minat mereka dan memastikan ada production setiap hari dengan their English, baik written atau oral. Ini juga bagian dari rencana saya membuat mereka immersed in English selama PJJ TOT itu. Di hari pertama saya berikan pancingan dengan meminta mereka dengan menuliskan hopes dan membuat refleksi di padlet saya. Dan ternyata hanya 13 dari 16 peserta yang mau mengisi. Padlet seperti gambar di bawah ini guys, peserta bisa posting, comment dan like di padlet saya.

Ketika melihat shared drive untuk pengumpulan tugas harian, di Day 1 hanya 7 peserta yang submit, day 2 turun jadi 5 orang yang submit, Day 3 tinggal 3 orang. Yang konsisten kirim tugas dari hari 1 sd 5 hanya 1 orang saja, let’s say namanya Mr. Ang. Dia menggunakan audio untuk reflection-nya. Jadi intinya sih, hanya 1 peserta yang committed. Saya bukannya tidak mengingatkan, petugas MOT juga selalu mengingatkan peserta saya untuk submit ke drive tugas. Alasan utamanya adalah 50% peserta itu bukan belajar dari rumah, tetapi dobel tugas dengan WFO. This really makes me sad karena Day 1 saya menerangkan tentang building learning commitment. Kalau kita mau menjadi teacher atau trainer, komitmen untuk terus belajar dan make time for it itu penting. Padahal tugasnya hanya ceritakan apa yang bisa kita petik dari practice atau pelajaran hari ini, boleh pakai pointer saja, pakai paragraf, mindmap, voice note, bahkan kalau mau video TikTok pun saya OK, saya hanya minta refleksi singkat saja, dan apparently hanya works on 1 trainee saja. Sad. Making excuses is not OK guys kalau kalian ingin jadi pengajar yang sukses.

Sedihnya karena diingatkan Bidang Evaluasi bahwa saya sebagai Wali Program harusnya tidak membebani peserta dengan tugas yang berat. Pada Rapat Kelulusan saya tekankan bahwa tugas sudah saya buat seringan mungkin dan manageable untuk dikerjakan harian. Kenapa harian? Karena disain PJJ-nya kan ada 2 JP untuk learning journal setiap hari (setara 90 menit), jadi saya tidak terima jika peserta buat excuses karena ada alokasi 1,5 jam dari total JP per hari untuk belajar mandiri. Harus tiap hari karena English production itu tiap hari ya, bukan sesempatnya kita. Saya juga sudah jelaskan ini pada trainee di hari pertama, mereka harus make time for it, meski cuma 5 menit per hari. Gimana mau pede presentasi jika kurang baca, kurang nulis, kurang ngomong, itu semua kan latihan untuk building skills mereka. Mungkin cara saya menyampaikan kurang menggugah ya, just wondering…tapi memang unit pengguna juga kebangetan lah masa masih ngasih tugas ke pegawai yang sedang ST diklat…

Tetapi ada yang saya kagumi dari semua trainee saya yaitu mereka semua benar2 fast learner, mereka cepat belajar dari kesalahan shingga pada hari ujian mereka 90% saya bilang sukses. Ini sepertinya yang jadi fokus utama peserta saya, ujian kelar dan harus bisa tampil bagus. Saya sempat desperate di 1 hari terakhir sebelum ujian, materi simulasi. Semua trainee di Room saya sangat kacau, tidak bisa presentasi dalam 10 menit (alokasi ujian per peserta), mostly karena topiknya terlalu luas dan slide-nya terlalu banyak. Saya ajarin cara narrow down a topic, lalu membatasi jumlah slides maksimal 5 untuk ujian. Alhamdulillah works well tips saya di hari ujian. Saya kebetulan tidak menyuruh peserta saya membuat script seperti di Ruang sebelah, cukup cue cards atau outline karena saya maunya mereka presentasi, bukan seperti baca script. Hanya 1 peserta yang saya bolehkan membuat karena beliau punya problem di fluency. Saya sampai begadang karena harus proofread teks dia, dan alhamdulillah dia bisa belajar dari itu dan saat ujian jadi lancar dan beliau sama sekali tidak baca, hanya pre-memory aja dan sangat natural sekali presentasinya. Di Room saya bahkan ada 3 peserta yang bisa memanage dengan Q&A, yang tentunya akan menambah nilai presentasinya. Overall saya appreciate banget usaha semua trainee saya untuk latihan di kelas maupun mandiri, luar biasa kalian guys…

Kak Ros (my special partner) and I always make sure that the class run well

Ada yang belum tuntas di disain pembelajaran saya untuk TOT ini, yaitu bagaimana saya keep track on their social learning and learning at work. WAG saya masih jalan sih, tapi hanya sebatas peserta berkabar ringan, bukan melakukan collaborative work. Sepertinya saya harus mulai mengaktifkan sosmed saya ya, terutama IG supaya bisa reach out dan keep informed tentang trainee saya.

December 4, 2020.

Sunday morning. Gandi suddenly post a shocking news in our WAG. One of my trainees, Ms. Dian Fitriani, passed away. She got Covid 19 in November 12th, a week after our PJJ. She had been in critical condition for the last 4 days. My heart’s so broken. Kinda hard to believe that the Covid has taken one of my students… I remember she was the one got brilliant score in the examination day in my room. My deepest condolence for this great loss, Dian was such a bright and intelligent woman. Al Fatihah for her. I genuinely hope that all of us can pass this pandemic smoothly. Take precautions, guys. Please follow the protocol. Stay safe.

Teacher Professional Development

This is my summary of Prof. Yilin Sun  (from South Seattle College, USA) presentation on LTTE International Conference 2020. I once heard her name form Korea TESOL and I was so into her description of successful leadership project on ESP. I think she has a great background of psychology. And yes, her presentation on LTTE was relevant to teacher capacity development. In short, she explained that a teacher must add four additional skills or attibutes to his/her students, namely resilience, optimism/hope, agility and adaptability, and lastly vision for the future . And I’m in total agreement cause those really also defines a great teacher to me as well as a real 21st century educator. Let’s see each attribute one by one now.

First, resilience. The American Psychological Association defines it as the ability and process of adapting well in the face of trauma, adversity, tragedy, threats or significant source of stress. So it’s the quality that makes a teacher “bounches back” from difficult experiences. Prof. Yilin said that critical thinking is a resilience factor. And a resilient students has A-I characteristics, i.e. Awareness of strengths and assets, Bouncing back, Courageous and calm, Display passion-driven focus, Emotion management , Foster a sense of personal agency, Good at critical thinking/problem solving, Help others/reach out to others:You Matter, I know you can do it; Insightful and resourceful. A teacher must be able to develop this resilience to his/her learners.

The next is hope or optimism. An optimist firmly believes that outcomes in general will be positive, favorable, and desirable. The benefits of being an optimists are seeing failuru/challenges as a new start, opening up to new ideas/possibilities, staying engaged and creative, spreading good vibes (because attitude is verything), and staying healthy and be more resilient.

After resilience and hope comes agility and adaptability. These are inseparable like two sides of a coin. Agility is the ability and willingness to learn from experience, and then apply that learning to perform successfully under new situations (Wagner, 2012). Meanwhile, adaptability is the capability to embrace change. Students who are agile and adaptable are able to think critically, handle tough situations and find solutions to challenging problems, manage changes well, deliver desired results in new and challening situations, communicate well, play many roles simultanously, understand others, accept responsibility, and be versatile and flexible.

And finally is Vision for Future. A vision defines the optimal desired future situation, and it tells you what you would like to achieve over a longer time. A teacher should have a shared vision, trust, passion, and commitment for his /her student success by engaging that vision intho teaching. In this case, the teachers should be inspiring, focused, unique, forward thinking, beneficial, and aligned as well.

Too bad Prof Yilin tried to put so many things in the allotted time that in the part of stretegies for teachers she was just rushing as the remaining time given for her was just 5 minutes left. But I could note some of her suggestions that I listed as the followings:

  1. Increasing Student Participation In Online Environment (i.e. during Zoom Synchronous Meeting)

She explained about taking whole group discussions focusing on class content and the questions can be elicited verbally or via Zoom chat. An alternate is using breakout groups to allow trudents to discuss a prompt/question by the teacher, to do online research on a given topic, to discuss a case study, or to create projects using tools such as Google Slides, mindmaps, or comics. I just realized how many varieties of tools that I can incorporate in my Zoom class actually (I only use Quizizz, Kahoot, and Youtube). Prof Yilin uses Google Forms, Poll Everywhere, Padlet, Min Mapping Tools, Comic Creators, etc for her Zoom class. I need to review my PJJ Business English class very soon then for betterment.

  • Creating a diamante poem to introduce resilience/optimism/hope. This strategy is so interesting. I’ll put you the printscreen of that slide here cause it’s rather hard to explain without the illustration. So first the teacher gives a conventional format to the student as the main source, and then the teacher asks the students to write or type the words that comes into their mind using that format. And then the results are written in a diamond shape and given the title “All about Me”. I think this one is interesting, I sure will try this for my own diamante 🙂
  • Name Tag Activity – A Dynamic Me.

Yilin used padlet to create this activity for Seattle College Faculty 2020 Summer Institute. She asked her new students to share their social media as their name tag and put them in her padlet. More or less like the pic here. So interesting, right?

  • Agility, Adaptability, and 7C’s Skills

In this strategy, the teacher creates situations (individually or in group setting) where students must adapt to a given problem, and also provide various tools to use to solve new problem. Then the teacher offers opportunities to create new ways of doing things. I this is a kind of PBL model to encourage students to work on solving problems, maybe with a little game will result better I think. Prof Yilin suggested some websites that promote agility and adaptability, such as www.funnygames.co.uk/agility-games.html or https://sheridancollege.libguides.com/c.php?g=717439&p=5120398 

  • RAFT model (Role-Audience-Format-Topic)

This a strategy for communication and creativity. Maybe I will search later to know this further as I didn’t get this much as she was super fast by showing he slides so quickly. She just said that RAFT is engaging, high level strategy that encourages writing across the curriculum. She said that RAFT encourages students to assume a role, consider their audience, write in a particular format, and examine a topic from a relevant perspective. Yilin gave an example of teaching Math on her slides, as you can see below. I was lucky to be able to make a quick printscreen to catch her explanation.

  • Think Tac Toe Model

This is the last stategy that Prof. Yilin shared. It’s a simple way to give students alternate ways to explore key ideas, which is designed to help students think about atopic from different angles, so it’s game-like motivates students. Like playing a tic tac toe, we make a grid consisting of 9 or more boxes. It doesn’t matter the choices students make, they must work with the key ideas and use the skills central to the topic. Here I put an example from Prof. Yilin. The thing is make sure that we put clear instructions in our grid, I think it’s better to use action verbs from Bloom’s taxonomy. I can just got incomplete princtscreen of her slides for the illustration, but I believe that you’ll agree that the verbs in the instructions are measurable, am I right?

I was lucky to be able to catch the last two slides of Prof. Yilin presentation because those are the final remarks from her about how an educator sholud do a self assessment on her/his 21st century skills. Let me just put the pics down below. Use the questions to ourselves and evaluate your own answers.

By the ways, Prof. Yilin also suggested some books related to 21st century skills and here they are:

All in all, I was so happy to catch Prof. Yilin presentation. Although I have read many articles on 21st century education, it will be different impact if you have just heard it from a notable scholar. Now I’m more convinced that 21st century education is about learning how to learn, and in Yilin’s examples: the key is on innovation producing education. 21st century education also makes us educators as reflective, critical, and resilient educators. So guys, as educators, let’s buidd 21st century skills to our learners close to the equity and achievement gaps for all students to succeed.

Pembelajaran: Jangan Salah Mendefinisikan

pen

Saya mau cerita jika pedoman disain pembelajaran di unit kerja saya, BPPK,  tuh masih belum tepat jadi pedoman penyusunan kurikulum. Ya, saya tegaskan sekali lagi jika PER-4/PP/2017 kurang lengkap dan tepat untuk menjadi pedoman desain pembelajaran di Kementerian Keuangan. Kenapa? Biar gampang saya break down secara runtut saja ya…tolong menyimak pakai konsentrasi biar lebih gampang dicerna. Sama siapkan PER-4 sambil buat dicoret-coret jika perlu.  I am not playing judge here, ini cuma masukan supaya ada move untuk segera memperbaiki pedoman penyusunan kurikulum di BPPK.

OK, pra-anggapan saya yaitu pertama, ada ketentuan yang mismatch secara eksternal dengan peraturan-peraturan lain yang berlaku di Kemenkeu. Kedua, ada ketidaksesuaian secara internal di dalam PER-4/PP/2017 tersebut maupun ketidakjelasan teknis dalam pedoman tersebut.

Saya enlist dulu fakta-fakta yang mempengaruhi pra anggapan saya:

  1. Pada PER-4/PP/2017 Bab I Pasal 1 poin 2: definisi pembelajaran tidak sama dengan definisi pada PMK Nomor 216/PMK.01/2018 tentang Manajemen Pengembangan SDM di Kementerian Keuangan serta PMK Nomor 45/PMK.011/2018 tentang Pedoman Analisis Kebutuhan Pembelajaran.
  2. Pada PER-4/PP/2017 Bab II Pasal 4 menuliskan Bentuk Pembelajaran secara kurang tepat.
  3. Pada PER-4/PP/2017 BAB IV Pasal 13 mengatur tugas dan tanggung jawab menyusun desain pembelajaran secara lengkap oleh Widyaiswara tetapi pada Bab V terdapat unsur yang belum diatur yaitu KNS.
  4. Lampiran dalam PER-4/PP/2017 belum seluruhnya sesuai dengan aturan-aturan maupun petunjuk pengisian dalam pedoman tersebut.

OK ya saya coba analisis satu per satu masalah tadi.

  1. PER-4/PP/2017 Bab I Pasal 1 poin 2 menyederhanakan definisi “pembelajaran Kementerian Keuangan Corporate University” menjadi “pembelajaran” sedangkan keduanya adalah hal yang berbeda. Pembelajaran Corpu mengacu pada competency development secara luas yaitu sebagai organizational learning yang meliputi banyak aspek, sedangkan pembelajaran dalam aturan PMK Nomor 216/PMK.01/2018 dan PMK Nomor 45/PMK.011/2018 pembelajaran mengacu pada pengertian instructional learning yang lebih sempit yaitu terkait pelatihan atau training (dulu disebut ‘diklat’); di mana instructional adalah bagian kecil saja dari competency development. Ini diperkuat dengan Pasal 10 dalam PMK Nomor 216/PMK.01/2018 yang menunjukkan bahwa pengembangan kompetensi dengan desain pembelajaran adalah hal yang berbeda. Desain pengembangan kompetensi memiliki Model 70:20:10 dan ini sangat berbeda dengan desain ‘instruksional’ (dulu disebut “disain kurikulum”) di mana dalam pengertian kedua memiliki porsi 10 saja (sebagai instructional learning atau training) yang harus dibuat berimpact tinggi dengan mengaitkan pada 20 (collaborative learning) dan 70 (workplace learning). Pendefinisian ‘pembelajaran’ yang tepat akan memudahkan perubahan/penambahan komponen-komponen instruksional agar selaras dengan Model Pembelajaran Corpu 70:20:10.
  2. Pada PER-4/PP/2017 Bab II Pasal 4 kata “Bentuk” tidak tepat digunakan karena klasikal dan nonklasikal merupakan “Jalur Pembelajaran”, jadi sebaiknya kata tersebut dihilangkan. Tentunya ini juga dimaksudkan agar selaras dengan ketentuan di PMK 216/PMK.01/2018 yang menyebutkan tentang jalur pembelajaran klasikal dan nonklasikal. Maka pada Pasal 5 dan Pasal 6 di PER-4/PP/2017 perlu ditambahkan kata “Bentuk Pembelajaran”.
  3. Pada PER-4/PP/2017 Pasal 13 tugas pengembangan desain pembelajaran seolah semua menjadi tugas Widyaiswara sedangkan pada mekanismenya (Bab V) desain pembelajaran adalah kerja Tim Penyusun Desain Pembelajaran dan Widyaiswara bertanggung jawab penuh hanya di penyusunan GBPP (Garis-Garis Besar Program Pembelajaran) dan SAP (Satuan Acara Pembelajaran) seperti tertulis di pasal 18, sedangkan pada komponen lain Widyaiswara adalah SGO (Skills Group Owner) terkait pendidikan dan pelatihan. Penyusunan KAP telah terlihat jelas mekanismenya pada Bab V tetapi mekanisme tentang KNS belum ada di Bab V.

Coba disimak Tabel berikut ini, ada beberapa contoh saja hasil analisis ketidaksesuaian penulisan dalam PER-4/PP/2017, dibuat tabel supaya lebih ringkas saja.

No. Hal Analisis
1. Lampiran I halaman 1. Format 1 KAP. No. 5 Penulisan Model Pembelajaran adalah salah. Seharusnya ditulis ‘Bentuk Pembelajaran’.
2. Lampiran I halaman 4. Petunjuk Pengisian Petunjuk Pengisian perlu dibuat lebih jelas. Misalnya pada No. 2 tentang penulisan Tujuan Program harus dijelaskan jika diisi dengan kalimat pernyataan (statement) tentang pemenuhan kebutuhan performansi (learning output) yang diinginkan.

Pada No. 3 tentang Kebutuhan Strategis Unit Pengguna harus dijelaskan jika diisi pemenuhan kebutuhan stategis (learning outcome) yang seperti apa.

Pada No. 4 tentang Sasaran harus dijelaskan jika diisi dengan target peserta secara khusus (specific target learner) misalkan unit tertentu atau jabatan tertentu.

Pada No. 6 tambahkan tentang ‘learning goal’ agar tidak rancu dengan No. 2. Perlu ditambahkan pengunaan kata kerja operasional dengan format ABCD untuk penyeragaman penulisan tujuan di seluruh BPPK.

3. Lampiran I halaman 6.

Petunjuk Pengisian

Pada No. 19 perlu dijelaskan lagi yang dimaksud dengan Kualifikasi Umum adalah syarat administrasi seperti Pendidikan, Pangkat/Gol., serta jabatan.

Pada No. 20 perlu dijelaskan lagi yang dimaksud dengan Kualifikasi Khusus adalah kompetensi khusus pengajar; sertifikasi khusus, dll.

Pada No. 28 kata ‘nomor’ dihilangkan karena redundansi dengan NIP.

4. Lampiran I halaman 11 s.d. 14.

Contoh 1 KAP

Contoh KAP Pelatihan Metode Kajian Penganganggaran masih banyak terdapat kesalahan penyusunan, antara lain:

1.       Penulisan SK dan KD tidak sepenuhnya format ABCD sehingga tujuan tidak memenuhi prinsip SMART

2.       Analisis Instruksional di SK 5 tidak logis

3.       Penulisan Jenis dan Jenjang Program seharusnya tertulis  “Pelatihan Teknis Tingkat Dasar”.

4.       Pengisian Fasilitas hendaknya langsung menuliskan jenis fasilitas yang diberikan (bukan memilih ada/tidak) misalnya 1. Asrama / Hotel standar BPPK  

2. Konsumsi Prasmanan  3. ATK Pelatihan

4. Perpustakaan              5. Laboratorium Praktik dll

5. Lampiran I halaman 19

Contoh 2 KAP

Kesalahan penulisan Persyaratan Peserta yaitu syarat kompetensi seharusnya dikosongkan, karena Pendidikan termasuk syarat administrasi dan jenjang pelatihan adalah tingkat dasar maka tidak ada entry behavior.
6. Lampiran II halaman 3.

Petunjuk Pengisian

Pada no. 14 dan 15 perlu diatur ketentuan waktu apakah berupa jamlat (JP) atau satuan menit agar terdapat keseragaman.

Pada No. 16 ditambahkan acuan ketentuan penulisan referensi untuk penyeragaman. (Harvard style/APA style/ Ketentuan Penulisan KTI dll)

Dan masih banyak lagi kesalahan/ketidaksesuaian yang dicantumkan dalam PER-4/PP/2017 yang umumnya meliputi:

  • Ketidakcermatan pengisian Deskripsi Program yang meliputi Tujuan Program, Kebutuhan Strategis Unit Pengguna yang akan Dicapai, dan Sasaran (Target Learners). Saya nanti akan buat tulisan khusus tentang cara merumuskan dan menyusun KAP ya, you just wait there. 
  • Penulisan Tujuan Perfomansi, Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar  dalam contoh di Lampiran Peraturan tidak memenuhi kriteria ABCD. Tujuan kan harus SMART ya, model penulisan ABCD itu sangat memenuhi unsur specific, measurable, achievable, realistic dan timely. Semua contoh tidak ada condition dan degree, so bagaimana kita bisa mengukur evaluasinya tanpa ada batasan dalam tujuan yang kita buat?
  • Penggunaan kata kerja yang tidak operasional pada tujuan performansi. Ini yang paling menggemaskan, karena saya rasa semua orang BPPK paham itu taksonomi Bloom dan paham daftar KKO atau action verbs yang lazim dipakai. Jangan gunakan kata kerja yang tidak bisa ukur pencapaian keberhasilannya secara spesifik, misalnya kata “memahami”, “menghayati”, “menginternalisasi”, duuh nanti mengukur ketercapaiannya seperti apa ya? Can you figure it out? Susah kan? 
  • Keruntutan dan kelogisan analisis instruksional dari SK menjadi KD. Saya perlu sharing lagi nih cara Dick and Carey menyusun tujuan pembelajaran. Just wait.
  • Penulisan persyaratan peserta dan kualifikasi pengajar tidak seragam. Harusnya PER mengatur penyeragaman cara menuliskan specific target learners seperti apa, dan leveling pelatihan harus dijelaskan mana yang perlu prasyarat entry behavior. Sama halnya dengan persyaratan mengajar, atur agar kita bisa bedakan antara syarat administrasi dengan persyaratan kompetensi.
  • Contoh KAP e-Learning yang diberikan tidak sama dengan format pedoman, which is so misleading kalau pegawai yang kurang paham malah mengambil dan meniru contoh yang nocontoh alias salah.
  • Satuan estimasi waktu dalam GBPP yang tidak seragam, ada yang dengan JP ada dengan Menit. So, gunanya peraturan ya harus menstate sampai detail ukuran satuan waktu yang mau dipakai.
  • Tidak mencantumkan format KNS (Kerangka Naskah Soal) yang merupakan bagian dari kurikulum. So, how are you gonna plan the evaluation kalau KNS saja tidak ada contohnya?

So far itu saja yang bisa saya ulas, dan simpulan saya:

  1. PER-4 /PP/2017 disusun dengan kurang teliti dan terkesan terburu-buru diterbitkan mengingat ketentuan tentang Manajemen Pengembangan SDM dan AKP baru diterbitkan di tahun 2018. Ini yang menjadi faktor mismacth dengan PMK Nomor 216/PMK.01/2018 maupun PMK Nomor 45/PMK.011/2018.
  2. Perlu redefinisi “pembelajaran’ dengan jelas dalam PER-4 /PP/2017. Bedakan jelas antara organization learning, development, dan training.
  3. Perlu revisi ketentuan dan Lampiran Contoh yang benar dalam PER-4/PP/2017.

Saran saya sih BPPK perlu segera membentuk tim penyusun revisi atas PER-4/PP/2017. Kalau perlu pakai konsultan pendidikan khusus buat ngajarin para struktural di sini. Lalu BPPK perlu menyosialisasikan konsep Corporate University secara lebih jelas lagi, sepertinya tidak semua pegawai paham dengan pembelajaran corporate university, padahal dulu sudah ada program Microlearning Pengenalan Kemenkeu CorpU di KLC. Berarti course itu ngga ngefek? Wallahu A’lam…

Glossary of English Education Terms

Here are the list of technical terms that I share to my participants of TOT for English Trainers, a joint work for Directorate General of Customs RI. I trained around 28 new teachers of English, who had very minimum knowledge of ELT. This list is supposed to help them understanding my terms that I use in my classroom teaching.

glossary

Accuracy

Producing language with few errors.

Achievement test

A test to measure what students have learned or achieved from a program of study; should be part of every language program and be specific to the goals and objectives of a specific language course. These tests must be flexible to respond to the particular goals and needs of the students in a language program.

Activate

The phase in a lesson where students have the opportunity to practice language forms. See “controlled practice”, “guided practice”, and “free practice”.

Active listening

A technique whereby the listener repeats (often in other words) what the speaker has said to demonstrate his or her understanding. Active listening is an especially useful alternative to directly correcting a student error.

Active vocabulary

Vocabulary that students actually use in speaking and writing.

Active

Related to student engagement and participation. For example, listening is perceived to be a passive skill, but is actually active because it involves students in decoding meaning.

Alphabet

A complete standardized set of letters – basic written symbols – each of which roughly represents a phoneme of a spoken language, either as it exists now or as it may have been in the past. English uses the Roman or Latin alphabet, which consists of vowels and consonants.

Vowel

A sound in spoken language characterized by an open configuration of the voice tract so that there is no build-up of air pressure above the vocal cords. The Roman vowels include the letters “a”, “e”, “i”, “o”, “u” and sometimes “y”. In all languages, vowels form the nucleus of a syllable. A vowel also completes a syllable.

Semivowel

A sound that is much like the vowel, but is not the key (nuclear) sound in a syllable. Examples: the opening sounds in the words “yet” and “wet”.

Consonant

An alphabetic character which represents a sound created by a constriction or closure at one or more points along the vocal tract. Consonants form the onset or end of a syllable, or both.

Aptitude

The rate at which a student can learn a language, based on raw talent. Aptitude does not seem to be related to attitude; a gifted student can have a poor attitude.

Attitude

A complex mental state involving beliefs, feelings, values and dispositions to act in certain ways. Attitude affects a student’s ability to learn, but is unrelated to aptitude.

Audiolingualism

A form of language learning based on behaviourist psychology. It stresses the following: listening and speaking before reading and writing; activities such as dialogues and drills, formation of good habits and automatic language use through much repetition; use of target language only in the classroom.

Audio-visual aids

Teaching aids such as audio, video, overhead projection, posters, pictures and graphics.

Aural

Related to listening.

Authentic text

Natural or real teaching material; often this material is taken from newspapers, magazines, radio, TV or podcasts.

Automaticity

A learner’s ability to recover a word automatically, without straining to fetch it from memory.

Behavioural psychology

Also called behaviourism, the belief that learning should be based on psychological study of observable and measurable psychology only; psychological theory based on stimulus-response influenced audiolingualism.

Bottom-up information processing

Students learn partially through bottom-up information processing, or processing based on information present in the language presented. For example, in reading bottom-up processing involves understanding letters, words, and sentence structure rather than making use of the students’ previous knowledge.

Brainstorming

A group activity where students freely contribute their ideas to a topic to generate ideas.

Burn-out

Fatigue usually based on either the stress of overwork or boredom with the same task.

Chorus

Speaking together as a group; used in choral speaking and jazz chants.

Classroom climate

Environment created in the classroom by factors such as the physical environment and also the interrelationship between the teacher and the students, and among the students.

Classroom management

The management of classroom processes such as how the teacher sets up the classroom and organizes teaching and learning to facilitate instruction. Includes classroom procedures, groupings, how instructions for activities are given, and management of student behaviour.

Cloze

A type of gap fill where the gaps are regular, e.g. every 7th or 9th word. The technique can used to assess students’ reading comprehension or as a practice activity.

Example: A passage used in …. cloze test is a … of written material in …. words have been regularly … . The pupils must then … to reconstruct the passage … filling in the missing … .

(answers: a, passage, which, removed, try, by, words)

Coherence

Coherence is the unifying element in good writing. It refers to the unity created between the ideas, sentences, paragraphs and sections of a piece of writing.

Cohesion

Cohesion refers to the grammatical or lexical relationships between the different elements of a text. The relationship may be between different sentences or between different parts of a sentence.

Collocation

The way words are often used together. For example, “do the dishes” and “do homework”, but “make the bed” and “make noise”.

Colloquialism

A word or phrase used in conversation – usually in small regions of the English-speaking world – but not in formal speech or writing: “Like, this dude came onto her real bad.”

Communicative Competence

The role of language learning is to achieve communicative competence. Communicative competence has four parts, which we call language competencies.

  1. Grammatical competence is how well a person has learned that features and rules of the language. This includes vocabulary, pronunciation, and sentence formation. The main question is: How well does a person understand English grammar?
  2. Sociolinguistic competence is how well a person speaks and is understood in various social contexts. This depends on factors such as status of those speaking to each other, the purpose of the interaction, and the expectations of the interaction. The main question is: how socially acceptable is the person’s use of English in different settings?
  3. Discourse competence is how well a person can combine grammatical forms and meanings to achieve different types (genres) of speaking or writing. The main question is: How well does one properly combine all the languages elements to speak or write in English?
  4. Strategic competence is how well the person uses both verbal forms and non-verbal communication to compensate for lack of knowledge in the other three competencies. The main question is: Can a person find ways to communicate when he or she is lacking some knowledge of English?

Communicative Language Teaching

Communicative language teaching (CLT) is an approach to foreign or second language learning which emphasizes that the goal of language learning is communicative competence. The communicative approach has been developed particularly by British applied linguists as a reaction away from grammar-based approaches such as the aural-oral (audio-lingual) approach. Teaching materials used with a communicative approach teach the language needed to express and understand different kinds of functions, such as requesting, describing, expressing likes and dislikes, etc. Also, they emphasize the processes of communication, such as using language appropriately in different types of situations; using language to perform different kinds of tasks, e.g. to solve puzzles, to get information, etc.; using language for social interaction with other people.

Competence learning model

Especially when we take specialized courses, learning seems to take place in four stages. We begin with unconscious incompetence: we do not know how much we do not know. Once we begin our course of studies, we become consciously incompetent: we know how much we do not know. From there we proceed to conscious competence: we have functional knowledge and can perform competently, but we have to think about what we are doing. Finally, after we have had enough experience, we become unconsciously competent: we know it and we can do it, and we do not much have to think about it. This model applies to a great deal of language learning, to TEFL training and to many other areas of study.

Comprehensible input

Language that is understandable to learners.

Content words

Words that carry meaning; usually nouns, verbs and sometimes adjectives and adverbs.

Context clues

Clues used when guessing word meanings; clues that provide students with meaning or comprehension based on the environment in which a word is found.

Contrastive analysis

Comparing two languages to predict where learning will be facilitated and hindered.

Controlled practice

Language practise where the students are restricted in their choice of language, usually to a single answer, for example a gap fill. (see “Free practise” and “Guided practise”)

Creative construction hypothesis

Hypothesis in language acquisition which states that learners gradually develop their own rule systems for language.

Culture

The sum of the beliefs, attitudes, behaviours, habits and customs of a group of people.

Deductive teaching

Also known as deduction, from the verb “to deduce”; a teaching technique in which the teacher presents language rules and the students then practice those rules in activities. Deductive teaching is usually based on grammar-based methodology and proceeds from generalizations about the language to specifics. (See “Inductive teaching”.)

Delayed copying

The teacher writes a short familiar sentence on the board, gives students time to look at it, erases it, and then they see if they can write it.

Descriptive grammar

Grammar that is described in terms of what people actually say or write, rather than what grammar books say the grammar of the language should be. See “prescriptive grammar”.

Diagnostic test

A test to diagnose or discover what language students know and what they need to develop to improve their language abilities; may be used before a course of study and combined with placement test.

Dictation

A technique in which the teacher reads a short passage out loud and students write down what the teacher reads; the teacher reads phrases slowly, giving students time to write what they hear; the technique is used for practice as well as testing.

Discourse

See “communicative competence”.

EFL

English is taught as a subject and not used as a medium of instruction or as a means of communication within the country.

ESL

English is used for communication within the country as well as a medium of instruction in schools / universities. Sometimes the language is used by the government also.

Extensive Reading

Reading widely and in quantity to get a gist or general understanding is called extensive reading. It is taken up to develop good reading habits and build up the knowledge of Vocabulary, structure, style etc. Reading for pleasure and profit is the hall mark of extensive reading.

Facilitator

A concept related to a teacher’s approach to interaction with students. Particularly in communicative classrooms, teachers tend to work in partnership with students to develop their language skills. A teacher who is a facilitator tends to be more student-centered and less dominant in the classroom than in other approaches. The facilitator may also take the role of mentor or coach rather than director.

Feedback

Reporting back or giving information back, usually to the teacher; feedback can be verbal, written or nonverbal in the form of facial expressions, gestures, behaviours; teachers can use feedback to discover whether a student understands, is learning, and likes an activity.

Fluency

Natural, normal, native-like speech characterized by appropriate pauses, intonation, stress, register, word choice, interjections and interruptions.

Form-focused instruction

The teaching of specific language content (lexis, structure, phonology). See “language content”.

Free practice

Practice-activities that involve more language choice by the learner. The students focus on the content rather than the language. Used for fluency practice. (see “Controlled practice” and “Guided practice”)

Function words

Also known as form words, empty words, structure or structural words and grammar words; these words connect content words grammatically; function words have little or no meaning by themselves. Examples include articles, prepositions and conjunctions.

Functional syllabus

Syllabus based on communicative acts such as making introductions, making requests, expressing opinions, requesting information, refusing, apologising, giving advice, persuading; this type of syllabus is often used in communicative language teaching.

Gesture

A facial or body movement that communicates meaning; examples include a smile, a frown, a shrug, a shake or nod of the head. Gestures often accompany verbal communication.

Graded reader

Reading material that has been simplified for language students. The readers are usually graded according to difficulty of grammar, vocabulary, or amount of information presented.

Grammar translation

A method of language teaching characterized by translation and the study of grammar rules. Involves presentation of grammatical rules, vocabulary lists, and translation. Emphasizes knowledge and use of language rules rather than communicative competence.

Grammatical syllabus

A syllabus based on the grammar or structure of a language; often part of the grammar translation method.

Guided practice

An intermediate stage in language practice – between “controlled practice” (q.v.) and “free practice” (q.v.) activities; this stage features allows for some creativity from the students.

Idiom

A group of words whose meaning is different from the meanings of the individual words: “She let the cat out of the bag” or “He was caught red-handed.”

Inductive teaching

Also known as induction, from the verb “to induce”; a facilitative, student-centered teaching technique where the students discover language rules through extensive use of the language and exposure to many examples. This is the preferred technique in communicative language teaching. (See “ Deductive teaching”.)

Input hypothesis

Hypothesis that states that learners learn language through exposure to language that is just beyond their level of comprehension. See “Krashen, Stephen”.

Interference

A phenomenon in language learning where the first language interferes with learning the target or foreign language.

Interlanguage

The language a learner uses before mastering the foreign language; it may contain features of the first language and the target language as well as non-standard features.

Interlocutor

In a conversation, this refers to the person you are speaking to.

Intonation

How we change the pitch and sound of our voice when speaking. See “language content”.

Krashen, Stephen

Krashen’s Theory of Second Language Acquisition is a highly practical theory for communicative language learning. This notion of second language acquisition consists of five main hypotheses: the Acquisition-Learning hypothesis; the Monitor hypothesis; the Natural Order hypothesis; the Input hypothesis; and the Affective Filter hypothesis. These hypotheses represent practical interpretations of what happens in language acquisition, and they form the basis of a system of language teaching called “The Natural Method.”

Language content

Language has three components, which are commonly taught as language items.

  1. Structural items are grammatical points about the language. CL teachers frequently introduce these as examples or model sentences, and they are often called “patterns”.
  2. Phonological items are features of the sound system of the language, including intonation, word stress, rhythm and register. A common way to teach phonology is simply to have students repeat vocabulary using proper stress and pronunciation.
  3. A lexical item is a new bit of vocabulary. It is sometimes difficult to decide whether an item is structural or lexical. For example, the teacher could teach phrasal verbs like “chop down” and “stand up” as lexis or structure.

Language experience approach

An approach based on teaching first language reading to young children, but adapted for use with adults. Students use vocabulary and concepts already learned to tell a story or describe an event. The teacher writes down the information they provide, and then uses the account to teach language, especially to develop reading skills.

Language learning requirements

To learn language, students have four needs: They must be exposed to the language. They must understand its meaning and structure. And they must practice it. Teachers should hold their students as able. They should not over-explain or make things too easy. Learning comes through discovery.

Language skills

In language teaching, this refers to the mode or manner in which language is used. Listening, speaking, reading and writing are generally called the four language skills. Speaking and writing are the productive skills, while reading and listening are the receptive skills. Often the skills are divided into sub-skills, such as discriminating sounds in connected speech, or understanding relationships within a sentence.

Learning burden

These are the features of the word that the teacher actually needs to be taught, and can differ dramatically from word to word. Especially in lexis, the teacher needs to reduce learning burden by, for example, reducing the number of definitions and uses presented.

Learning factors

For EFL teachers, four factors outside aptitude and attitude affect the rate at which a student learns a second language. These are (1) the student’s motivation, including whether it is instrumental or integrative; (2) the amount of time the student spends in class and practicing the language outside class; (3) the teacher’s approach to teaching; and (4) the teacher’s effectiveness and teaching style. The most important of these motivators are the first two, which are also the two the teacher has least control over. See also “aptitude”, “attitude” and “TEFL vs. TEFL”.

Lesson plan

An outline or plan that guides teaching of a lesson; includes the following: pre-assessment of class; aims and objectives; warm-up and review; engagement, study, activation of language (controlled, guided and free practice); and assessment of lesson. A good lesson plan describes procedures for student motivation and practice activities, and includes alternative ideas in case the lesson is not long enough or is too difficult. It also notes materials needed.

Look and say

Also called the whole-word method, a method to teach reading to children, usually in their first language; has been adapted for second-language reading; words are taught in association with visuals or objects; students must always say the word so the teacher can monitor and correct pronunciation.

Metalanguage

Language used to describe, analyse or explain another language. Metalanguage includes, for example, grammatical terms and the rules of syntax. The term is sometimes used to mean the language used in class to give instructions, explain things, etc. – in essence, to refer to all teacher talk that does not specifically include the “target language”.

Minimal Pairs

Minimal Pairs are the pairs of words or phrases in a particular language which differ in only one phonological element. e.g. pin – bin

Model/modelling

To teach by example; for example, a teacher who wants students to do an activity may first demonstrate the activity, often with a student volunteer.

Motivation

In language instruction, the desire to learn.

Motivation paradox

Students’ main motivators are factors the teacher has little control over (integrated versus instrumental motivation, which heavily influence time on task), yet motivation is critical to learning.

Native speakers

Those who speak the language in question as their mother tongue.

Needs assessment

Measurement of what students need in order to learn language and achieve their language learning goals; also may include consideration of the school syllabus.

Non-native speakers

Those who speak the language in question as an additional language. The language in question is not their mother tongue.

Objectives

Also called lesson objectives or aims; statements of student learning outcomes based on student needs; objectives state specifically what the students will be able to do in a specified time period; objectives are measurable and therefore involve specific and discrete language skills.

Oral

Related to speaking.

Over-correction

Correcting so much that students become reluctant to try out what they have learned.

Paradox of language acquisition

The limited amount of comprehensible input that children receive is mathematically insufficient for them to determine grammatical principles, yet somehow they are still able to do so.

Passive vocabulary

Vocabulary that students have heard and can understand, but do not necessarily use when they speak or write.

Passive

Opposite of active; the false assumption that the language skills of reading and listening do not involve students in doing anything but receiving information.

Peer correction

Also known as peer review, peer editing, or peer feedback; in writing, an activity whereby students help each other with the editing of a composition by giving each other feedback, making comments or suggestions; can be done in pairs or small groups.

Phonemic awareness

Awareness of the sounds of English and their correspondence to written forms.

Placement tests

Tests used to place students in a specific language program; such tests should reflect program levels and expectations for students at each proficiency level offered by the language program.

Prescriptive grammar

Grammar that is described in terms of grammar rules of what is considered the best usage, often by grammarians; prescriptive grammar may not agree with what people actually say or write.

Proficiency level

Describes how well a student can use the language (often categorized as beginner, intermediate or advanced).

Proficiency tests

General tests that provide overall information on a student’s language proficiency level or ability; can be used to determine entry and exit levels of a language program or to adjust the curriculum according to the abilities of the students.

Rapport

Relationship, usually a harmonious one, established within a classroom between teacher and students and among students.

Realia

Real or actual objects used as teaching aids to make learning more natural; can include forms, pictures, tickets, schedules, souvenirs, advertisements and articles from English magazines or newspapers, and so on.

Recycling or spiralling

Sometimes called the cyclical approach; the purpose is to repeat language items throughout the syllabus; each time a language item is encountered more detail about it is added; this allows students to build on prior knowledge.

Register

Level of formality in speech with others; register depends on the situation, location, topic discussed, and other factors.

Scan

To read quickly for specific information; a reading stratagem.

Skim

To read quickly for main idea or general information; a reading stratagem.

Social context

The environment in which meanings are exchanged; can be analysed in terms of the field of discourse, which refers to what is happening, including what is being talked about; the tenor of discourse, which refers to the participants taking part in the exchange of meaning, including who they are and their relationships with each other (for example, teacher and students); and the mode of discourse, which refers to what part the language is playing in the particular situation and what “channel” (writing, speaking or a combination of the two) is being used.

Sociolinguistics

Aspects of culture that affect communication with others; examples: social class, education level, age, gender, ethnicity. Also, see “communicative competence”.

Strategic competence

See “communicative competence”.

Student and teacher

Teachers have eight roles in the classroom. They are authorities and sources of knowledge; entertainers; caregivers; role models; counsellors and sometimes friends; classroom disciplinarians; directors and managers; facilitators, coaches and guides.

The most important person in the classroom is the student. The teacher’s primary focus must be on effective ways to have the student practice using his or her language. Classes should be planned so they enable the student to use just a little more language than they are comfortable with. This is known as “i+1” – an idea popularized by Stephen Krashen. This formula is short for “comprehensible input plus one.” Comprehensible input is language the students can understand.

Student feedback

Information solicited from students by the teacher to assess the effectiveness of the teaching-learning process.

Student-centred

Also called learner-centred, a way of teaching that centres on the goals, needs, interests and existing knowledge of the students. Students actively participate in such classrooms and may even be involved in setting learning outcomes. Teachers in student-centred classrooms ask students for input on their goals, needs and interests and on what they know before providing them with study topics or answers to questions (for example, grammar rules). They may also ask students to generate (help produce) materials. The teacher is seen more as a facilitator or helper than the dominant figure in the classroom.

Structure

See “language content”.

Student-generated material

Teaching material to which the students have made a major contribution; the language experience approach, for example, uses student-generated material.

Survey

To quickly read the headlines, subheads, opening and closing paragraphs, photo captions, pull quotes and other key materials in an article to get a sense of meaning; a reading stratagem.

Syllabus or curriculum

The longer-term teaching plan; includes topics that will be covered and the order in which they will be covered in a course or program of studies.

Syntax

Sometimes called word order; how words combine to form sentences and the rules governing sentence formation.

Tape script

A written text which accompanies listening material; may be used to make cloze passages or for student review.

Task-based syllabus

A syllabus organized around a sect of real, purposeful tasks that students are expected to carry out; tasks may include telephone use, making charts or maps, following instructions, and so on; task-based learning is purposeful and a natural way to learn language.

Teachable moments

Times in a language class in which the teacher realizes that a point of information not in the lesson plan will help students understand a language point; teachable moments digress for a brief time from the lesson plan and can be valuable in helping student learning and keeping students engaged.

Teacher talk

The language teachers use when teaching; involves simplifying speech for students; it may be detrimental to learning if it is childish or not close to the natural production of the target language.

TEFL vs. TESL

TEFL is an acronym for Teaching English as a Foreign Language; TESL, for Teaching English as a Second Language. See a fuller description at English language learning and teaching. TEFL usually takes place in non-English-speaking countries, while TESL takes place in the English-speaking world. When we speak of English as a foreign language (EFL), we are referring to the role of English for learners in a country where English is not spoken by the majority (what Braj Kachru calls the expanding circle). English as a second language (ESL) refers to the role of English for learners in an English-speaking country, i.e. usually immigrants. This difference is very important, because it strongly affects student motivation. In particular, it affects their motivation to learn.

In non-English speaking countries, students have instrumental motivation, the desire to learn English to accomplish a goal. They may want to improve their job prospects, for example, or to speak to tourists. They 1. attend English classes with other non-native speakers 2. can find reasonable work without English; have less economic incentive to learn English. 3. do not need English in daily life 4. have both primary and secondary support-networks that function in their native language 5. have fewer opportunities to practice using their English They are learning, and their instructors are teaching, English as a foreign language.

In English-speaking countries, they have integrative motivation, the desire to learn the language to fit into an English-language culture. They are more likely to want to integrate because they 1. Generally have more friends and family with English language skills. 2. Have immediate financial and economic incentives to learn English. 3. Have more opportunities to practice English. 4. Need it in daily life; often require it for work. 5. Often attend English classes with students who speak a wide range of mother tongues. They are learning, and their instructors are teaching, English as a second language.

Technique

A way of presenting language.

Thematic syllabus

Syllabus based on themes or topics of interest to the students.

Top-down information processing

Students learn partially through top-down information processing, or processing based on how students make sense of language input – for example, through using students’ previous knowledge or schema.

Uninterrupted sustained silent writing

A technique in writing whereby a specified, relatively short period of time is set aside in class for students to practice their writing without being interrupted. This helps build writing fluency.

Vocabulary, importance of

Core vocabulary (the most common 2,000-3,000 English words) needs to be heavily stressed in language teaching. There is no point in presenting exotic vocabulary until students have mastered basic, high-frequency words. Learners should be tested on high-frequency word lists for passive knowledge, active production and listening comprehension. Learners cannot comprehend or speak at a high level without these words as a foundation.

Learners need to spend time practicing these words until they are automatic; this is known as building automaticity. Since there is often not enough class time for much word practice, teachers need to present their students with strategies for developing automaticity outside the classroom.

Vocabulary-based syllabus

Syllabus built around vocabulary; often associated with the grammatical syllabus and the grammar translation method.

Worksheets

Teacher-developed, paper-based activities to help students comprehend, use, and learn language; can be used in association with all skill levels and in individual and group work.

Taking A Gift From Our Students

Akhir semester telah tiba. Seperti biasa, wall FB teman2 dosen saya pasti akan penuh dengan beragam selfie and wefie dengan para mahasiswanya. Hanya bisa geli campus gemas saja, karena beberapa dari mereka jor-joran pameran kado dari mahasiwanya. Saya cuma bisa mengelus dada saja, toh itu wall mereka.

Saya dari dulu tidak pernah mau upload foto2 dengan mahasiswa saya di FB atau IG Story meskipun mereka juga mengemail hasil foto kuliah terakhir kita. Kuliah terakhir cukup berarti saya selesai melakukan kewajiban saya sebagai pengajar mereka. That’s it. Apanya yang mesti di celebrate? Kerjaan di Pusdiklat ya masih menggunung buat diselesaikan lagi. Buat saya pameran foto pertemuan kuliah terakhir itu agak norak ya. I don’t know, I just want to do things the way it should be, I don’t want to be popular or spectacular at all. I don’t have to show everyone that I’ve made it to the end of the semester, that’s all. Biasa aja keleeess…mungkin juga karena saya sudah mengajar mahasiswa dari 1995 dan sepertinya nggak lucu lagi kalau saya masih  pamerin wefie2 centil2 sama mahasiwa on FB or IG di usia separuh baya gini 😀 😀 😀   that’s suits my much younger fellow lecturers. Dosen2 yang baru ngajar mungkin masih perlu pembuktian kali ya kalo pernah ngajar hehee

Ohya tentang menerima bingkisan atau kado dari mahasiswa, saya paling tidak bisa dan sangat tidak suka menerimanya. Memang sih saya punya beberapa kado dari mantan siswa saya, tapi catat itupun mereka berikan ketika mereka sudah bukan jadi mahasiswa saya, mereka sudah jadi teman kerja saya. Akan lebih bermakna sekali buat saya jika mereka memberikan sesuatu di masa lepas dari kampus ketika mereka masih mengingat kita sebagai orang yang pernah berbagi ilmu dengan mereka dahulu, dan itu invaluable sekali buat saya, meskipun hanya berupa gambar karikatur saya, sekotak coklat, bros kecil, mug, atau kotak tisu saja. Gravatar saya ini, contohnya, adalah kreasi mantan saya, eh mantan mahasiswa saya 🙂 🙂 🙂

Alasannya saya tidak mau kado mahasiswa sih simple aja, that’s against my value. There will always be implications behind accepting the gift. I never believe if the gift is intended as a thank you for some special situation, with no intent to influence me. Some, perhaps,you may say it is more gracious to accept the gift than insult someone attempting to express gratitude, but for me I just want to be professional. Saya yakin pasti akan ada possibility of a conflict of interest. I want to be as objective as possible in evaluating students and structuring my courses. Saya berprinsip menerima hadiah saat masih jadi dosen  akan mengantar kepada ketidakadilan dan memutuskan sesuatu tidak dengan sebenarnya. Dari Abu Humaid as Sa’idi , Rasululloh SAW pernah bersabda: Hadiah pegawai termasuk ghulul (khianat) (HR. al Baihaqi dalam as Sunan as Shugro 3267 dan dishohihkan oleh syaikh Albani dalam shohihul Jaami’ 7021).  Makanya belajar tentang gratifikasi gini perlu ilmu ya..para ulama aja udah sepakat tentang mengharamkan hadiah bagi guru, kok ya ada aja dosen yang bangga pameran di medsos dapat kado dari mahasiswa. Mesti  lapor ke KPK loh kalau terima gituan, sadar ngga sih mereka?

Satu lagi, saya tidak mau dengan menerima hadiah, it might signal to other students that they should consider giving gifts as well, atau lebih parah lagi berpikiran bahwa semua dosen harus diberi hadiah saja supaya adil. Saya karena dari awal sudah memilih mengajar sebagai profesi dan ladang ibadah saya, maka yang lebih pantas bagi saya adalah sebaiknya tidak merima haidah agar ilmu mereka murni semata karena Alloh Ta’ala pula. Saya tidak melihat sesuatu yang lebih mudah dan menenangkan hati dari kehati-hatian Kata hadis Bukhori kan “Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju apa yang tidak meragukanmu” maka tanpa ragu lagi saya anggap menerima hadiah dari mahasiswa adalah haram buat saya. Dosen itu ngasih hadiah aja ke mahasiswa, jangan dia yang dikasih mahasiswa. Wong gaji dan tunjangan sudah gede banget, buat nraktir mahasiswa tiap hari dia sanggup.

So, saya sering mengecewakan mahasiswa saya dengan menolak kado mereka. Ada juga yang bilang ini bukan kado Ma’am…cuma souvenir saja (plakat ada nama saya di situh , oh nooo, sami mawon kids…). Pokoke emoh nggak mau kado2 dr mahasiswa, cah…dosenmu iki THP ne wis ngungkuli Eselon 3, hayoo wani ngado sesuai seleraku ? 😀 😀 😀 Really I do not want to let them down karena mereka sudah menyiapkan jauh-jauh hari buat saya. I do appreciate their concern, but saya selalu berusaha menolak dengan halus. Pernah saya dengan cara pura-pura menerima, kemudian saya berikan lagi kepada ketua kelas sebagai hadiah saya buat dia saat itu juga dan dia tidak boleh menolaknya. Pernah juga cukup dengan mengatakan saja that’s so considerate and sweet of you all to give me such a gift, but thanks anyway I don’t take any gifts from students. Tetap saya katakan saya hargai perhatian mereka, dan mereka tidak memaksa. Intinya saya tekankan meskipun kado itu is just a sincere appreciation out of their heart for me, saya lebih suka mereka mengenangnya dalam hati sebagai budi harus mereka balas kepada orang lain dengan kemauan untuk berbagi ilmu saya kepada siapa saja yang perlu dengan ilmu itu. Isn’t that so much sweeter? Saya cuman minta didoakan mereka saja supaya saya akan tetap sehat buat mengajar terus, and that’s more than any gift in the world.

Tapi ada dua kejadian tentang urusan kado2an ini yang tidak akan pernah saya lupakan. Sekitar tahun 2004 ada kelas mahasiswa pajak yang sebagian besar dari Indonesia bagian timur. Di akhir kuliah, salah seorang dari mereka memaksa saya menerima kado dia meskipun saya menolaknya. Dia ngotot mengatakan itu bukan kado bu, tapi oleh-oleh dari ibunya di Kalimantan dan kata ibunya salam buat saya, lalu dia segera lari pergi tanpa mempedulikan teriakan saya untuk kembali. Dia anak yang paling pintar di kelas saya, mungkin dia merasa concern dengan teman2nya yang dari Papua yang dalam daftar saya akan saya berikan D karena malas dan juga memang nggak bisa dibantu dengan cara apa pun di matkul saya. Saya cukup gemas waktu itu, saya buka kadonya, isinya kain songket halus (sampai sekarang masih ada di rumah saya, nggak akan saya pakai seumur hidup). Saya cukup kagum juga dengan keberanian dia, tapi saya diskon nilai dia dari semula A menjadi B- karena mencoba menyuap dosennya. Saya merasa gagal mengubah attitude mahasiswa saya bahwa kita harus sportif dan berani menerima penilaian obyektif dari dosen. Nilai itu cuma sebuah angka di atas secarik kertas, tapi dia tidak menunjukkan jati diri murid itu sebenarnya. (Saya juga heran, mengapa mahasiswa sekarang lebih penting dapat nilai bagus daripada dapat kuliah yang bagus. Mereka kurang menghargai proses…). Wanti2 aja buat mahasiswa saya nih kalau ngga mau nilai attitude saya kurangi, jangan coba2 kasih2 barang sama saya. Titik. (muka jutek). Nilai bagus harus diperjuangkan ya kids, dengan kesungguhan dalam mengikuti kuliah, keseriusan dan ketabahan dalam mengerjakan tugas2 dari dosen, kemampuan bekerja sama dengan teman belajar, partisipasi kelas, dll…kalau itu kalian tunjukkan nggak bakalan saya kasih kalian D, paling apes juga C itu pun kalo kalian kebangetan KSA nya, you can have my words. Dan nyata sangat jarang mahasiswa saya dapat C, paling hanya 1 – 2 aja per kelas.

Dan yang terakhir adalah hari Rabu minggu lalu, 11 Feruari 2015 di akhir kelas sang ketua kelas memberikan bingkisan besar dengan kertas kado warna biru. Saya tanya apa itu, mereka bilang it’s a token from our heart to show their deepest thank you for teaching them. Saya terangkan bahwa I just can’t take any gift from my students since it’s against my norms. I kindly told them no thank you, but they insisted. I insisted no thank you again, and they re-insisted. Really, the student put me in an awkward position of being an authoritarian person who cannot participate in typical activities (maksudnya accepting small favors or gifts). I told them that it should be clear that I’m a teacher, but a teacher can still be warm and approachable, and they can still be my friends forever, even after the semester is over. I reminded them that I did mention on my very first meeting in my class is that all I want to see from a student is their best effort in my class. That’s is truly a gift for me. Suddenly I got too emotional.

It was such a mixed feeling inside. To me, balancing act between me feeling uncomfortable accepting the gift and making the giver feel uncomfortable rejecting the gift is very, very difficult. Saat itu yang terlihat di mata saya adalah betapa lugu dan tidak merasa bersalah mereka hingga sampai empat kali mereka bolak-balik memaksa saya menerima kado mereka. Padahal aturan sekolah dan kampus jelas2 melarang this kind of gratification. Langsung terbayanglah wajah anak2 saya (Faishal, Shofi, Daffa, Afia) dengan wajah lucu imut mereka meminta guru mereka menerima kado mereka dan bu guru tidak mau karena takut dosa. Karena kado guru itu haram. Seketika mata saya memerah dan berhamburanlah airmata saya tanpa bisa saya hentikan. Saya terlalu marah tapi kehabisan kata-kata untuk menjelaskan mereka, bahwa sebenarnya saya sayang mereka tetapi saya hanya ingin berhati-hati saja dalam menyikapi hadiah. Saya kok merasa jadi dosen yang gagal jika mahasiswa ngga ingat apa yang pernah saya wanti-wantikan di awal pertemuan kuliah pertama. Mereka akhirnya berhenti memaksa begitu melihat saya keluar air mata sambil gemeteran membentak “You can give anything to your lecturers but not ME! End of discussion!” Well it was a mixed feeling inside, antara gemas, sedih, marah, tidak berdaya, dan kasihan campur baur jadi satu. Lugu mereka itu keterlaluan buat saya kalau sampai tidak bisa membedakan mana itu ungkapan sayang atau mana itu gratifikasi (udah dapat kuliah Anti Korupsi belom sih? Kayak gini gimana nanti kalau jadi PNS?)…. Saya cuma bilang next time please ask your lecturer whether he or she is OK with a gift. This act is NOT OKAY in this campus and anywhere else. Others may do so tapi nggak bisa kalau kamu ngakunya muslim. Nyesel juga agak blow up, ya apa daya saya kan Arema yang kalo esmosi susah direm. Tapi dalam hati saya berdoa, semoga mahasiswa saya sadar bahwa yang mereka lakukan itu tidak bisa diterapkan ke semua dosen, bahwa masih ada dosen yang tidak bisa mereka beri hadiah dan begitu tulus mengajar mereka hanya demi mencari ridha Allah semata. Well, turning down a gift is often seen as rude, but I just cant take a “collective gift” (saya tahu mereka urunan buat beli kado) dan again…saya rela dianggap dosen nggak asik dan jaim daripada saya harus mengorbankan value saya. I hope someday they will understand me.

enjoy

Pembelajaran dengan Active Learning

with Mike Cantrell


Tulisan ini merupakan cuplikan pengalaman penulis ketika mengikuti Short Course on Curriculum Design and Assessment for Educational Innovation di Belanda pada 9 sampai dengan 27 Mei 2011. Sebagai seorang widyaiswara, setiap mengikuti suatu pelatihan penulis selalu mengamati metode mengajar yang dipakai oleh para pengajar yang berpotensi untuk penulis terapkan dalam diklat-diklat di unit kerja sendiri. Penulis sangat tertarik dengan metode Active Learning yang dipakai semua pengajar short course tersebut, baik dari Vrije Universiteit (VU University) di Amsterdam maupun dari Rijksacademie voor Financien en Economie  (NAFE) di Den Haag.

Active Learning sendiri sebenarnya bukan hal yang baru, bahkan Socrates sudah mengenalkan metode ini sejak dulu kala, dilanjutkan oleh seorang progressive educator yaitu John Dewey. Namun ketika masuk kelas kadang terlupakan oleh kita sebagai pengajar bahwa belajar merupakan proses aktif secara alamiah, di mana peserta harus membaca, berdiskusi, mendengarkan, menganalisa, berpikir, serta menulis. Kita sering terfokus dengan pemaparan (delivery) materisaja, padahal mendengarkan dan mencatat bagi peserta hanyalah level terbawah dari comprehension. Dr. Bernie Dodgemenyatakan:

Active learning puts the responsibility of organizing what is to be learned in the hands of the learners themselves, and ideally lends itself to a more diverse range of learning styles.

Jadi, dalam active learning, peserta didik bertanggung jawab lebih besar dalam proses belajar itu sendiri. Ini sejalan dengan pendapat Bonwell dan Eison (1991) yang memopulerkan active learning dalam pembelajaran sejak 1990an, yang berpendapat bahwa “the responsibility of the learning is on the learners themselves’. Ada lagi gagasan tentang active learning yang lebih spesifik disampaikan oleh Mel Silberman (1996), yang menyatakan bahwa dalam pembelajaran yang aktif, para pesertalah yang lebih banyak melakukan kegiatan dengan menggunakan nalar mereka, mempelajari teori, memecahkan masalah, serta menerapkan apa yang telah mereka pelajari. Tetapi prosesnya harus fast-paced, supportive, dan personally engaging. Karena itu untuk memudahkan belajar, selain menyimak dan melihat, peserta juga harus bertanya dan berdiskusi dengan peserta lain. Selain itu, masih menurut Silberman,

… Above all, learners need to ‘do it’–figure things out by themselves, come up with examples, try out skills, and do assignments that depend on the knowledge they already have or must acquire.

Seperti yang dialami penulis dan teman-teman short course di Belanda, kami semua lebih banyak menggali apa yang sudah kami ketahui dan miliki untuk memahami materi yang diberikan para pengajar di sana, persis seperti pendapat Silberman di atas. Karena itu dalam artikel ini, penulis akan berbagi aktivitas dan metode apa saja yang kami lakukan dalam short course tersebut yang masuk dalam kategori active learning serta kelebihan dari metode tersebut.

  1. Interactive lecture / Ceramah interaktif

Metode ceramah interaktif menggunakan kombinasi metode yang bervariasi karena ceramah dilakukan dengan tujuan sebagai pemicu terjadinya kegiatan yang partisipatif (curah pendapat, diskusi, pleno, penugasan, studi kasus, dll). Selain itu, ceramah melibatkan semua peserta dengan adanya tanggapan balik atau perbandingan pendapat dan pengalaman peserta. Media pendukung yang digunakan antara handouts, transparansi atau power point, tulisan-tulisan di kartu, kertas plano, dll. Hampir semua fasilitator dalam short course kami sangat interaktif dalam penyajian ceramahnya, selain itu penampilan mereka yang kasual serta pembawaan yang egaliter sangat mendukung penyampaian materi dengan metode ini.

2. Discussion / Diskusi

Metode ini bertujuan untuk tukar menukar gagasan, pemikiran, informasi / pengalaman diantara peserta, sehingga dicapai kesepakatan pokok-pokok pikiran (gagasan, kesimpulan) di kelas. Untuk mencapai kesepakatan tersebut, para peserta saling menyampaikan argumentasi untuk meyakinkan peserta lainnya, dan kesepakatan pikiran inilah yang kemudian ditulis sebagai hasil diskusi. Yang membuat diskusi menjadi penting menurut fasilitator Esmiralda dari CPDC  saat menyampaikan materinya di NAFE yaitu karena knowledge is everywhere out there, therefore sharing and discussing it are very important. Oleh karena itu, semua peserta harus bisa menyampaikan ide dan pendapatnya dalam diskusi.

3. Group discussion / diskusi kelompok

Sama seperti diskusi, diskusi kelompok adalah pembahasan suatu topik dengan cara tukar pikiran antara dua orang atau lebih, dalam kelompok-kelompok kecil, yang direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Metode ini dapat membangun suasana saling menghargai perbedaan pendapat dan juga meningkatkan partisipasi peserta yang masih belum banyak berbicara dalam diskusi yang lebih luas. Keunggulan penggunaan metode ini adalah peserta bisa mengembangkan kesamaan pendapat atau kesepakatan atau mencari suatu rumusan terbaik mengenai suatu topik. Setelah diskusi kelompok, proses dilanjutkan dengan diskusi pleno, yaitu diskusi umum yang merupakan lanjutan dari diskusi kelompok yang dimulai dengan pemaparan hasil diskusi kelompok. Kegiatan ini yang paling sering kami praktekkan dalam 3 minggu short course kami. Yang menarik adalah kami pernah diminta mempresentasikan hasil diskusi kami dalam bentuk Pecha Kucha. Pecha Kucha adalah presentasi  power point dengan hanya menggunakan 20 slides berisi gambar-gambar, masing-masing slide memakan waktu hanya 20 detik, jadi total waktu presentasi hanya 6 menit 40 detik untuk keseluruhan 20 slides.

4.    Games / Permainan

Games yang dipakai antara lain pemanasan (ice-breaker) atau penyegaran (energizer). Ice-breaker dipakai untuk memecah situasi kebekuan fikiran atau fisik peserta dan dimaksudkan untuk membangun suasana belajar yang dinamis, penuh semangat, dan antusiasme. Permainan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan (fun) serta serius tapi santai (sersan). Metode ini diarahkan agar tujuan belajar dapat dicapai secara efisien dan efektif dalam suasana gembira meskipun membahas hal-hal yang sulit atau berat, di waktu yang kritis misalnya sesudah jam makan siang. Menurut fasilitator Esther den Hartog, sebaiknya permainan digunakan sebagai bagian dari proses belajar, bukan hanya untuk mengisi waktu kosong atau sekedar bermain-main saja tanpa makna. Permainan sebaiknya dirancang menjadi aksi pengalaman oleh peserta, kemudian ditarik dalam proses refleksi untuk menjadi hikmah yang mendalam (prinsip, nilai, atau pelajaran-pelajaran). Wilayah perubahan yang dipengaruhi adalah ranah sikap-nilai. Esther den Hartog memberi contoh game Back to Back, dimana dua peserta duduk di lantai saling menempelkan punggung dan mengaitkan tangan dan diminta untuk berdiri secara serempak bersamaan. Pembelajaran yang dirasakan peserta yaitu untuk mencapai tujuan bersama diperlukan komunikasi yang baik, koordinasi, serta dukungan satu sama lain. Ada game lain yang kami lakukan selama short course, misalnya Helium Stick yang juga mengajarkan tentang pentingnya koordinasi dan rasa pantang menyerah dalam mencapai tujuan.

5.    Opening Question

Supaya peserta dapat belajar lebih efektif, mereka harus membuat koneksi antara apa yang sudah mereka ketahui (prior knowledge) dengan materi baru yang akan mereka dapatkan (new content). Maka kegiatan pembukaan di kelas harus memfasilitasi peserta untuk membuat koneksi tersebut. Opening Question adalah strategi yang menampilkan pertanyaan di power point, memberi beberapa menit bagi peserta untuk memikirkan jawabannya, lalu meminta beberapa peserta untuk menjawab.  Strategi ini sangat mudah, tidak butuh waktu terlalu lama, sesuai untuk kelas besar maupun kecil. Strategi ini juga bisa menjadi feedback bagi pengajar tentang apa yang sudah dan belum diketahui peserta tentang materi yang telah dan akan disajikan. Fasilitator Anja Swennen pernah membuka sesi pagi dengan menyakan kami “What is your opinion about signature pedagogy?” sebelum akhirnya menjelaskan pada kami tentang topik tersebut. Fasilitator Esther den Hartog juga  pernah berimprovisasi dengan model yang disebutnya “Reflection of Lesson Learned” dimana peserta memikirkan jawaban pertanyan dari fasilitator dalam hati sambil menutup mata, diiringi alunan musik intrumental  “Morning Glory” yang bernuansa yoga, sehingga membuat suasana terasa khidmat.

6.    Think-Pair-Share

Think-Pair-Share adalah strategi  active learning di level individual, berpasangan, maupun kelompok besar. Ada tiga langkah: pertama, pengajar menyiapkan pertanyaan dan meminta semua peserta untuk memikirkan/menuliskan jawabannya sendiri. Langkah kedua yaitu peserta berpasangan dengan peserta lain yang duduk di dekatnya dan saling menukar dan berbagi  jawaban mereka. Ketiga, pengajar memilih beberapa pasangan dan merangkum jawaban mereka untuk seluruh kelas. Jika digunakan di awal pembelajaran, strategi Think-Pair-Share dapat membantu peserta mengorganisasikan prior knowledge mereka dan mendapatkan banyak jawaban dari peserta lain dengan cara brainstorming. Jika digunakan di sesi akhir, maka akan berguna untuk merangkum apa yang telah mereka pelajari, menerapkannya di situasi yang berbeda, serta mengintegrasikan  pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Strategi ini bisa diterapkan pada kelompok kecil maupun besar dalam waktu beberapa menit saja, sehingga sangat ideal untuk kelas yang metode pembelajarannya menggunakan ceramah (lecture).Di sini fasilitator harus peka dan bisa mengklarifikasi jika ada kesalahan atau ketidaksepahaman.

7.    Focused Listing

Focuse Listing adalah strategi di mana peserta mengingat apa yang mereka ketahui tentang materi dengan membuat daftar gagasan yang terkait dengan topik tersebut. Untuk memulainya, pengajar meminta peserta mengambil secarik kertas dan mulai membuat list berdasarkan topik yang disajikan di power point (topik bisa tentang materi sebelumnya atau materi yang sedang dibahas saat ini). Pengajar berkeliling di kelas sambil mengawasi peserta membuat list, kemudian merangkum gagasan utamanya di akhir kegiatan ini. Peserta yang lain  secara acak diminta meyajikan isi daftar mereka sebelum materi dilanjutkan kembali. Pada prakteknya, focused listing  tidak membutuhkan banyak waktu. Cara ini efektif untuk membuat peserta terlibat dengan materi secara aktif, dan dapat menjadi feedback bagi pengajar tentang bagaimana materi selanjunya disajikan agar sesuai kebutuhan peserta. Trainer Wim Kouwenhoven dan pernah  berimprovisasi dengan meminta peserta menuliskan satu gagasan di selembar kertas tempel kuning, sehingga satu gagasan satu kertas (bukan dalam bentuk list), dan menamakan kegiatan  ini dengan Yellow Notes.

8. Brainstorming/ curah pendapat

Metode curah pendapat adalah suatu bentuk diskusi untuk menghimpun gagasan, pendapat, informasi, pengetahuan dan pengalaman dari semua peserta. Berbeda dengan diskusi, dimana gagasan dari seseorang dapat ditanggapi (didukung, dilengkapi, dikurangi, atau tidak disepakati) oleh peserta lain, pada metode ini pendapat orang lain tidak untuk ditanggapi. Tujuan curah pendapat adalah untuk membuat kompilasi (kumpulan) pendapat, informasi, pengalaman semua peserta yang sama atau berbeda. Hasilnya kemudian dijadikan peta informasi, peta pengalaman, atau peta gagasan (mind-map) untuk menjadi pembelajaran bersama.

Brainstorming juga mirip seperti focused listing, dimana peserta diminta untuk mengingat apa saja yang mereka ketahui tentang suatu topik dengan cara menuliskan istilah-istilah maupun gagasan-gasan yang terkait dengan topik tersebut. Bedanya di sini, peserta diminta membuat hubungan antara prior knowledge dengannew possibilities. Caranya, pengajar menanyakan pada peserta tentang apa yang mereka ketahui tentang suatu topik melalui tayangan Power Point, selanjutnya peserta diminta memformulasikan secara sistematis hubungan antara gagasan tersebut. Brainstorming jika dipakai di awal pembelajaran akan berguna untuk menarik atensi peserta dan menyiapkan mereka dengan topik bahasan hari ini. Jika digunakan di akhir sesi maka akan menjadi rangkuman serta alat untuk membantu peserta menformulasikan koneksi antara apa yang mereka pelajari dengan real life.

9.    Note check

Note check  atau kadang disebut Note Sharing adalah strategi di mana pengajar meminta peserta untuk berpasangan dan berbagi catatan dengan teman di sampingnya, tujuannya untuk membandingkan catatan mereka dan mengetahui apakah ada persamaan informasi serta adakah kesalahan konsep. Peserta juga bisa bertanya atau memecahkan masalah dengan pengajar. Kegiatan ini hanya sebentar saja dilakukan. Problem dengan kegiatan ini adalah jika peserta
pesertanya ada yang kurang aktif, misalnya tidak mencatat atau hanya mengandalkan pasangannya untuk melaksanakan tugas karena kurang paham. Tetapi tujuan utama dari strategi ini adalah peserta saling mengisi dan memiliki collective understanding atas materi yang diberikan. Dengan cara ini, pengajar bisa membantu peserta untuk membuat catatan sekaligus memonitor apakah peserta diklat dapat menangkap key ideas dalam penyajian materi hari tersebut.

10. Minute Paper

Fasilitator Carmen Peters menyebut kegiatan ini dengan “Sheet Shower”. Di sini pengajar memberi pertanyaan pada peserta dalam slide PPT dan peserta harus menuliskan jawabannya, Ini bisa dilakukan kapan saja dalam proses pembelajaran, tetapi akan lebih berguna jika dilakukan di akhir sesi sebagai rangkuman materi hari ini. Peserta akan dipaksa menulis dengan bahasanya sendiri, dengan demikian dia akan menginternalisasi materi hari ini serta mengidentifikasi kesenjangan (gap) dalam pemahaman. Minute paper juga merupakan teknik classroom assessment untuk membantu pengajar mengetahui sejauh mana peserta memahami materi, apa saja yang mereka pahami, serta di bagian mana pengajar harus lebih banyak menerangkan lagi.

11.  Lower House Debate

Ini adalah versi student debate saja, dimana kelas diberi satu topik dan kelas dibagi menjadi 3 kelompok, pro, kontra dan juri. Peserta diberi salah satu posisi serta diminta mengumpulkan seluruh informasi yang mendukung pandangan mereka serta menjelaskannya pada pihak lain dan para juri. Prakteknya, setiap pihak diwakili oleh satu orang saja diberi kesempatan untuk menyampaikan proposisinya secara bergantian (kecuali juri), lalu rehat 5 menit untuk konsolidasi, dilanjutkan sanggahan setiap pihak, rehat lagi 5 menit, dan terakhir tanya jawab. Kami melakukannya satu kali di VU University dan satu kali di NAFE, semuanya sangat menyenangkan karena baru kali ini kami mempraktekkan verbal presentation dengan cara debat dan kami sadar bahwa untuk meyakinkan pihak lain itu ternyata tidak mudah.

12.  Reaction to a video

Ini adalah alternatif dalam metode ceramah, sebelum presentasi pengajar dimulai peserta menyaksikan suatu film pendek yang terkait dengan materi yang akan dibahas. Kegiatan ini bisa dipakai sebagai ice breaker atau juga sebagai pembuka sebelum peserta diberi pertanyaan yang harus dijawab dan dibahas di kelompoknya. Kami pernah menonton film Mr. Bean cheating in examination sebelum kami membahas topik evaluation and assessment, dan membuat kami semangat untuk melanjutkan mengikuti presentasi fasilitator.

13. Final Question

Final question adalah strategi mengakhiri ceramah dengan memberi tugas peserta untuk membuat pertanyaan di akhir sesi. Strategi ini mendorong peserta diklat untuk memikirkan materi hari itu secara mendalam dan mencoba menggali apakah ada hal lain yang belum dipahami peserta. Ada trainer yang menanyakan secara random di kelas dan langsung dijawab hari tersebut, ada juga trainer yang meminta peserta untuk menuliskan pertanyaannya di kertas dan dikumpulkan untuk dibahas di pertemuan selanjutnya. Bahkan ada trainer yang meminta agar pertanyaan di email saja atau dimasukkan ke Learning Moodle. Final question sangat berguna untuk mengetahui sejauh mana peserta peserta memahami materi hari tersebut.

Memang belum seluruh metode yang dapat penulis sajikan di sini karena keterbatasan ruang. Namun setidaknya penulis berharap  tulisan ini bisa menginspirasi pembaca, khususnya pengajar dan widyaiswara, untuk diterapkan dalam praktek mengajar dalam diklat. Selamat mencoba.

dimuat dalam majalah  Forum Keuangan Vo. I/03/September 2011

Referensi

Bonwell, C.; Eison, J. (1991). Active Learning: Creating Excitement in the Classroom AEHE-ERIC Higher Education Report No. 1. Washington, D.C.: Jossey-Bass.

Bernie Dodge, Bernie. 2002. Active Learning on the Web. San Diego State University: Department of Educational Technology, diakses dari http://edweb.sdsu.edu/people/bdodge/Active/ActiveLearning.html)

Silberman, M. 1996. Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject. Boston: Allyn and Bacon.

Widyaiswara Should Know This too: Teacher’s Competence

Widyaiswara has the main function as teaching agent to all trainees in governmental institution. In this sense, widyaiswara is similar to teacher in the nature of the task to perform. This posting is aimed at discussing what teacher’s competence is and enriching our knowledge (as widyaiswara) on the topic.
As learning agent, all educators, such as trainers/WI, teachers, etc should possess several competences. A competence is an integrated mastery of knowledge, skill, and attitude which is reflected in the working performance. Kepmendiknas (The Decree of Minister of National Education) No. 045/U/2002 defines competence as a set of intelligent and responsible acts in conducting all the duties of a certain job. So, teacher’s competence can be described as a unity of knowledge, skill and attitude which is reflected through intelligent and responsible acts in conducting duties as learning agents. UUGD (The Law of Teachers and Professors) and PP (Government Regulation) No. 19/2005 state that teacher’s competence includes personality, pedagogy, professionalism, and social competence. Those four teacher’s competences as well as the sub competence and the essential indicators will be discussed as follows:

loading_1ttenacw
Personality competence

Personality competence is a personal ability which reflects firm, stable, mature, wise, and authoritative traits. Having personality competence also means becoming the role model for the learners and possessing good morality. Specifically, those sub competence will be described below:
1. A firm and stable personality sub competence: behaving according to the law norm; behaving according to the social norm; being proud as a teacher; and possessing a consistency in behaving according to the norm.
2. A mature personality competence: performing independence in acting as a teacher and having working ethos as a teacher.
3. A wise personality sub competence: performing benevolent attitude towards learners, school, and society, and showing open-minded view and behavior.
4. An authoritative personality sub competence: having a positive attitude towards the learners and having respectful behavior.
5. A good morality and becoming the role model sub competence: behaving according to religious norm (belief in God, being honest, being sincere, and helping others) and possessing behavior that can be adhered by learners.
Pedagogy competence
Pedagogy competence includes understanding the learners, designing and conducting the learning process, evaluating learning outcomes, and developing learner’s actualization of their potentials. Specifically, each sub competence is described as the following essential indicators.
1. Sub competence of understanding the learners: understanding the learners by employing the principles of cognitive development; understanding the learners by employing the principles of personality; and identifying pre-learning preparation of the learners.
2. Sub competence of designing the learning process, including understanding the educational framework for the sake of learning process: understanding the education framework; applying the study and learning theories; determining the learning strategy based on the learners’ characteristics, the desired competence, and the teaching material; and arranging the learning plans based on the selected strategy.
3. Sub competence of conducting learning process: organizing the learning setting; and conducting a conducive learning process.
4. Sub competence of designing and conducting learning evaluation: designing and conducting evaluation on the learning process and the learning result integrally using certain methods; analyzing the result of the learning process and the result of evaluation to determine the level of learning mastery; and the employment of the result of evaluation for the improvement of the quality of the learning program.
5. Sub competence of developing learner’s actualization of their potentials: facilitating the learners to develop their academic potentials and facilitating them to develop their non-academic potentials.
Professional competence
Professional competence is a broad and deep mastery of learning materials, which includes the mastery of subject curriculum materials and scientific substances related to the curriculum, and also the mastery of the structure and methodology. Every sub competence has these following essential indicators.
1. Sub competence of mastering the scientific substances related to subject curriculum: understanding the teaching material in the school curriculum; understanding the scientific structure, concept and methodology which is coherent with the teaching material; understanding the conceptual relation among the related subjects; and applying the scientific concepts in daily life.
2. Sub competence in mastery of scientific construction and methodology: mastering the research procedures and critical review to deepen the knowledge/subject materials.
Social competence
Social competence is the teacher’s ability to communicate and to live in harmony with students, colleague teacher, education staffs, parents, and the school environments effectively. The social competence comprises sub competences with these following essential indicators.
1. being able to communicate effectively with students and to live in harmony with them
2. being able to communicate effectively and to live in harmony with colleague teacher and school staffs
3. being able to communicate effectively and to live in harmony with parents or foster parents and people in the school environment.
It is necessary to note that those four competences (personality, pedagogy, professionalism and social) should be integrated in the real practice; one competence cannot be separated from the others. The above distinctions are made for easier understanding of the concept. Some experts said that the term professional competence is like an “umbrella”, because it includes other competences. On the other hand, the mastery of teaching material in deep and extensive way is more appropriate to be called the mastery of the teaching material resources (disciplinary content) or often labeled as skill subjects.

then, to view a teacher with competence refers to the expectation that he/she should possess

(1) an understanding of student’s unique characteristics,

(2) a mastery of teaching materials,

(3) the ability to conduct teaching and learning process, and

(4) the willingness to develop his/her professionalism and personality in a continuing process.

 

It needs a lengthy process to master all those four competence. And definitely, integrity is the key to drive all teachers to obtain them.